Area persawahan yang alami kekeringan di Cibarusa, Bekasi, Jabar, 3 Oktober 2014. Memasuki musim kemarau tiga desa yaitu Desa Ridhogalih, Ridomanah, dan Sinarjati di Cibarusa, Bekasi, kesulitan air bersih, kekeringan tersebut sudah hampir dua bulan. Tempo/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Subbidang Informasi Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Hary Tirto mengatakan daerah terpanas pada musim kemarau tahun ini ada di antara Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara.
“Di daerah itu, sudah tidak ada lagi hujan,” kata Hary saat dihubungi, Minggu, 26 Juli 2015.
Menurut Hary, informasi daerah terpanas itu sudah disampaikan kepada Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan. BMKG berharap Kementerian Pertanian bisa memberikan langkah strategis terkait dengan berkurangnya suplai air untuk pengairan sawah. Sedangkan di Kementerian Kehutanan, informasi itu diharapkan bisa meningkatkan kewaspadaan terhadap terjadinya kebakaran hutan.
Berbeda dengan tahun lalu, musim kemarau tahun ini terasa semakin terik. Hal itu, menurut Hary, lantaran adanya fenomena El Nino yang datang berbarengan dengan musim kemarau. Fenomena El Nino mengakibatkan pembentukan awan hujan sangat kurang. Akibatnya, kelembapan udara semakin rendah.
Hary menjelaskan, fenomena El Nino tidak berdampak pada suhu. Seperti tahun sebelumnya, suhu musim kemarau di Indonesia mulai 33 hingga 37 derajat Celsius. Namun, dengan fenomena El Nino, suhu udara yang sama akan terasa lebih panas dan memiliki dampak angin lebih kencang.
Fenomena El Nino pun, menurut Hary, akan berdampak pada terlambatnya kedatangan awal musim hujan. “Musim hujan bisa terlambat sebulan atau dua dasarian (dua puluh hari),” tuturnya.
Hary berujar, Juli dan Agustus adalah puncak musim kemarau. Awal musim hujan biasanya terjadi September atau Oktober. Namun, berbeda dengan tahun lalu, musim hujan tahun ini dia perkirakan datang terlambat.