(ki-ka) Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Mohamad Taufik, calon wakil presiden Sandiaga Uno, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Lulung AL, dan Mayjen TNI (Purn) Ferrial Sofyan saling bergandengan tangan setelah rapat paripurna DPRD DKI Jakarta di Balai Kota, Jakarta, Senin, 27 Agustus 2018. TEMPO/Fakhri Hermansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota DPRD DKI Jakarta kembali mengajukan anggaran Pokok-pokok Pikiran atau Pokir. Anggaran terkait penjaringan aspirasi dari masyarakat itu pernah ditolak Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan kini diajukan kembali di era pemerintahan Gubernur Anies Baswedan.
Pengajuan kembali dilakukan saat pembahasan APBD Perubahan 2018. Pengajuan anggaran ini disertai perbandingan dengan rencana Anies Baswedan mengucurkan tambahan modal untuk delapan perusahaan daerah hingga hampir Rp 11 triliun.
"Daripada serahkan Penyertaan Modal Daerah sekian triliun, masuk ke sana hanya mendepositokan. Sedang ini (APBD) kan uang warga, masak Rp 10 juta, Rp 25 juta saja gak bisa dibantu,” kata anggota DPRD Fraksi Hanura Syafruddin.
Lagian dia menambahkan secara konstitusional anggaran Pokok Pikiran adalah legal. Alasannya, diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2015.
Anggaran Pokir sebelumnya pernah diajukan pada masa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2015. Namun, Ahok mencoret anggaran hampir Rp 12 triliun itu.
Pada masanya Ahok menilai besar anggaran Pokir itu tidak masuk akal sehat. Dia mengatakan, anggaran pokok pikiran itu tak dibutuhkan karena seharusnya pokok pikiran yang dimaksud sudah disampaikan dalam musyawarah rencana pembangunan.
Penyisiran lalu dilakukan dan Ahok mendapati anggaran pokok pikiran dari anggota DPRD sepanjang 2012 hingga 2015 mencapai lebih dari Rp 40 triliun.