Contoh Surabaya, Ini 6 Alasan untuk Anies Tolak Swastanisasi Air
Reporter
M Yusuf Manurung
Editor
Zacharias Wuragil
Minggu, 10 Februari 2019 20:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air terus mendesak Gubernur Anies Baswedan untuk segera memutus kontrak kerja sama air bersih dengan swasta. Atas sejumlah alasan, Anies diminta tak gentar.
Baca berita sebelumnya:
Desakan Stop Swastanisasi Air, Kemauan Anies Dipertanyakan
Pengacara publik Koalisi, Tommy Albert, mengatakan banyak negara juga telah mengambilalilh pengelolaan air dari swasta. Sepanjang 2000-2005 lalu, Albert menyebutkan, ada 235 kasus pengambilalihan pengelolaan air.
"Kasus yang akan terjadi di Jakarta bukan sesuatu yang baru," kata Albert di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Ahad 10 Februari 2019.
Koalisi menghimpun enam alasan berikut ini untuk membantu Anies membuat keputusannya,
1. Tarif murah karena tidak dibebani keuntungan swasta
Albert mengatakan, harga air di DKI dipatok dengan mempertimbangkan keuntungan bagi mitra swasta yang menjadi operator, Palyja dan Aetra. "Setiap air yang dibayar oleh warga, juga ada keuntungan swasta yang kita bayarkan," kata dia.
Karena pertimbangan keuntungan untuk swasta itu, harga air baku di Ibu Kota dianggap menjadi mahal. Dia membandingkan dengan harga air di Surabaya yang dikelola sepenuhnya oleh PAM Surya Sembada.
Baca:
Swastanisasi Air, Anies Didesak Tunjukkan Wibawa dengan Cara ...
PAM Jaya dan operatornya, Palyja dan Aetra mematok air bersih seharga Rp 7.800 per meter kubik. Padahal, mereka membeli air dari PJT II Rp 202 per meter kubik. Sedangkan, Pemerintah Kota Surabaya memasang tarif Rp 2.860 per meter kubik. PAM Surya Sembada mendapatkan air dari PJT I seharga Rp 133 per meter kubik.
<!--more-->
2. Keuangan negara tidak dibebani menjamin keuntungan swasta
Albert berujar, Palyja dan Aetra dimanjakan dengan jaminan mendapat keuntungan dari pemerintah seperti ada dalam kontrak. Jaminan itu pula yang menjadi alasan Kementerian Keuangan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas putusan kasasi yang memenangkan koalisi.
Baca:
PK Kemenkeu Dikabulkan, Anies Tetap Mau Stop Swastanisasi Air
"Nah, kalau negara gagal memberikan keuntungan yang sudah disepakati, maka uang negara dari APBD atau APBN yang akan diambil untuk membayar," kata Albert.
3. Keuntungan untuk negara sama dengan keuntungan untuk warga negara
Albert mengatakan, jika pengelolaan air dipegang PAM Jaya maka keuntungan sepenuhnya akan dinikmati negara. Uang itu lantas bisa digunakan untuk kepentingan kemakmuran warga negara.
Dia kembali mencontohkan Surabaya. Pada 2017, PAM Surya Sembada memperoleh keuntungan Rp 280 miliar. Keuntungan itu disebut digunakan untuk melunasi utang, berinvestasi dalam pengelolaan air, serta tidak lagi meminta-minta duit APBD. "Bahkan menyumbang dividen Rp 100 miliar ke Pemko Surabaya tahun itu," kata dia.
Baca:
Lima Pendapat Hukum untuk Anies Soal Swastanisasi Air Adalah ...
Sedangkan laporan keuangan Aetra pada 2016, pendapatan perusahaan disebut mencapai Rp 1,2 triliun. Pendapatan didapat dari hasil menjual 175 juta meter kubik air. Sedangkan besar labanya mencapai Rp 400 miliar setahun. Jika dihitung per hari, Aetra menerima laba sekitar Rp 1,096 miliar.
<!--more-->
4. Pengambilalihan pengelolaan air dari swasta membuat semakin banyak warga menikmati air bersih
Albert menghitung, laba Aetra Rp 1 miliar per hari tersebut sama nilainya dengan mengratiskan biaya air untuk satu juta warga DKI setiap hari. Hal itu dihitung bila rata-rata warga DKI menghabiskan 144 liter air per hari dengan harga yang ada di DKI. "Kalau diambil alih, maka semakin banyak warga yang bisa mengakses air," kata dia.
Baca:
LBH Undang Bahas Swastanisasi Air, Begini Jawaban Anies
5. Aset negara kembali ke negara
Albert mengatakan, Aetra dan Palyja tidak membangun fasilitas baru untuk mengelola air di Jakarta. Swasta diduga menggunakan aset negara senilai Rp 1 triliun untuk menjalankan operasi usaha. Albert lantas membandingkan dengan Freeport, yang harus membangun pengeboran sendiri di Papua. "Swasta datang dan menggunakan fasilitas yang sudah dibangun oleh negara, yaitu milik PDAM," kata Albert.
6. Partisipasi Publik
Menurut Albert, jika air di Jakarta dikelola oleh BUMD, maka publik dapat lebih berpartisipasi. Akses informasi ihwal harga dan biaya dapat lebih mudah didapatkan. "Warga punya banyak mekanisme untuk mengontrol negara mengelola air melalui Gubernur, DPRD, atau Ombudsman," ujarnya.