Begini UNHCR Putar Otak Mendorong Pencari Suaka Agar Bisa Mandiri
Reporter
M Julnis Firmansyah
Editor
Dwi Arjanto
Minggu, 4 Agustus 2019 14:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Aktivitas sekiar 1.300 pencari suaka di Lapangan Bekas Kodim, Kalideres, Jakarta Barat, terlihat normal pada Kamis siang, 1 Agustus 2019.
Para pengungsi tetap terlihat mengantre makanan siap saji di salah satu tenda, walaupun sejak Rabu, 31 Juli Dinas Sosial DKI Jakarta telah menghentikan pemberian bantuan logistik untuk para pencari suaka tersebut.
"Itu yang memberikan supply makanan ke para pengungsi UNHCR, diberikan untuk satu pekan ke depan," ujar Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Irmansyah saat dihubungi Tempo, Jumat, 9 Agustus 2019.
Irmansyah mengatakan Dinas Sosial telah memberikan bantuan makanan sejak 11 - 31 Juli 2019. Pihaknya menghentikan pemberian bantuan logistik karena ketiadaan anggaran.
Melihat nasib para pencari suaka yang sangat bergantung pada bantuan karena tidak bisa bekerja di sektor formal, membuat lembaga Badan Pengungsi PBB atau UNHCR, mencari cara agar para pengungsi setidaknya dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Representatif United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Indonesia Thomas Vargas mengatakan pada awal tahun 2019 pihaknya telah bekerja sama dengan Universitas Atma Jaya dan Dompet Dhuafa untuk membuat program kewirausahaan untuk para pengungsi.
Ia menjelaskan konsep program ialah para pengungsi yang memiliki ide bisnis akan bekerja sama dengan wirausahawan Indonesia untuk menjalankan sebuah usaha. Thomas mengatakan para pengungsi pada dasarnya merupakan individu kreatif yang memiliki kebudayaan dan dapat dikembangkan menjadi sebuah bisnis.
Dalam program itu, pengungsi tinggal mendaftar dan akan dicarikan partner dari Indonesia. Selanjutnya mereka akan membuat sebuah proposal bisnis yang akan diseleksi oleh UNHCR dan International Labour Organization (ILO). Ide bisnis terbaik selanjutnya akan diberikan sejumlah modal untuk menjalankan usaha.
Melalui cara ini, Thomas menjelaskan para pengungsi bisa mendapatkan uang secara legal dan di sisi lain program ini berkontribusi menumbuhkan geliat perekonomian di Indonesia. "Jadi program ini adalah win win solution," ujar Thomas.
Untuk saat ini, program kewirausahaan untuk pengungsi pencari suaka baru berjalan di angkatan pertama, yakni pada bulan Januari 2019. Saat itu 30 pengungsi dan 30 orang Indonesia berpartisipasi mengembangkan ide bisnis mereka masing-masing.
Thomas menjelaskan pihaknya sedang membicarakan program ini dengan pemerintah Indonesia agar nantinya program kewirausahaan ini dapat mencakup lebih banyak pengungsi. "Tanggapan pemerintah sangat positif terhadap program ini," kata dia.
Adapun salah satu contoh pengungsi yang saat ini mandiri karena program tersebut adalah Bismillah Tahirzada. Pemuda asal Afghanistan ini menjadi wirausahawan angkatan pertama dalam program tersebut.
Bismillah menceritakan mengetahui program tersebut dari temannya yang sesama pengungsi. Ia lalu mendaftarkan diri melalui sebuah laman milik UNHCR. Usai mendaftar, Bismillah dipasangkan dengan seorang mahasiswa Universitas Atma Jaya untuk membuat proposal bisnis.
Ide yang Bismillah tawarkan saat itu ialah berjualan keripik kentang buatan rumah yang sehat tanpa MSG dan pengawet. Sebagai pembeda antara keripiknya dengan yang dijual di pasaran, dalam paket keripiknya ia juga menyertakan saus khas dari Turki yang bernama hummus dan membuatnya dalam empat rasa, yakni asin, rumput laut, pedas, dan asam.
"Saya menamakan produk itu dengan nama Ashi Mashi, yang artinya kecil dan mungil. Itu bahasa Persia," ujarnya.
Ide bisnis itu Bismillah lalu disetujui oleh UNHCR dan ILO. Ia lalu memulai berjualan keripik kentang dengan bermodalkan dana Rp 500 ribu pada Januari 2019. Untuk pembagian tugas dengan partnernya, Bismillah kebagian tugas memasak dan memasarkan produk, sedangkan sang partner membantu urusan administrasi dan pengemasan.
Hingga kini, Bismillah telah memasarkan produk Ashi Mashi melalui laman media sosial, toko online, dan beberapa bazar. Soal keuntungan penjualan Ashi Mashi sejak Januari, pria kelahiran tahun 1998 itu mengatakan omzet yang terkumpul sudah mencapai Rp 30 juta perbulan.
Dengan uang hasil penjualan keripik, Bismillah kini bisa keluar dari penampungan pengungsi dan tak bergantung pada bantuan dari pemerintah. Ia juga kini tinggal di sebuah kontrakan di Jakarta dan memproduksi keripik rumahannya di sana.
"Keripik saya lebih aman dibanding yang lain, kalau tidak percaya, silakan coba," ujar Bismillah, pencari suaka yang sudah mandiri tersebut.