Kisah Ronaldo dan Ondel-ondel Jalanan dari Kampung Gaplok
Reporter
Imam Hamdi
Editor
Zacharias Wuragil
Senin, 23 September 2019 05:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamen ondel-ondel ini bernama Gilang Ronaldo. Dia baru melangkah beberapa meter ketika gerimis turun pada sebuah sore di bilangan Pamulang, Tangerang Selatan. Rambutnya yang pirang karena kerap terbakar matahari dibiarkannya ganti menantang air dari langit. Sementara bocah berusia 11 tahun ini terus melangkah dengan kakinya yang telanjang.
Ronaldo adalah bocah pengamen ondel-ondel asal Kampung Gaplok, Senen, Jakarta Pusat. Dia berada satu kelompok dengan Malik Ahmad Ramadan (15) alias Madun, mengaku seorang pelajar SMK, dan Martin Nurohim (25) alias Katek, pengangguran.
"Kalau keluar sudah sore gini, biar hujan tetap jalan," kata Ronaldo menerangkan satu di antara kebiasaan mereka selama tiga tahun mengamen bareng.
Pada sore itu Tempo mengikuti perjalanan kelompok pengamen ondel-ondel ini ke Pamulang, Tangerang Selatan. Katek yang berada di dalam boneka ondel-ondel setinggi dua meter sembari mendorong gerobak musik. Sedangkan Gilang dan Madun membawa bekas kaleng cat untuk disodorkan ke setiap orang yang mereka temui.
Sepanjang sore--sepulang sekolah--hingga tembus dinihari, Ronaldo ikut dua rekannya itu menyusuri berkilo-kilometer panjang Jalan Siliwangi dan beberapa ruas jalan lainnya di Pamulang dan sekitarnya. Tak jarang mereka sampai ke daerah-daerah perbatasan kota itu dengan Kabupaten Bogor.
Lelah tak dirasa demi lembaran atau keping uang yang mengisi bekas kaleng cat. Apalagi kalau membayangkan, pagi-pagi sudah harus berangkat sekolah lagi. Ronaldo malah kecanduan mengamen ondel-ondel karenanya. Dia mengaku bisa membawa pulang bagiannya Rp 50-100 ribu setiap malam.
"Enak dapat uang," katanya sambil menambahkan, "Bisa buat tabungan untuk masuk SMP nanti."
Ronaldo nandak--istilah untuk mengamen ondel-ondel—mengikuti jejak sang kakak, Galang, 13 tahun. Galang telah lebih dulu turun ke jalan. “Kakak saya dengan kelompok lain. Sama-sama ngamen ondel-ondel,” katanya.
<!--more-->
Di Kampung Ondel-Ondel Gaplok, di Jalan Kembang Pacar, Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, terdapat puluhan kelompok pengamen seperti Ronaldo, Madun, dan Katek. Mereka menyewa perlengkapan mengamen dari juragan ondel-ondel di kampung itu.
Momen HUT DKI Jakarta adalah 'hari besar' untuk mereka, selain malam tahun baru dan takbiran. Seperti yang terlihat pada 22 Juni lalu: mikrolet dan bajaj yang disewa para pengamen berbaris di sepanjang Jalan Kembang Pacar. Di atas angkutan tersebut telah dijejali satu sampai tiga ondel-ondel bersiap meluncur ke sejumlah wilayah di seputaran ibu kota.
Tauke, selain menyewakan ondel-ondel beserta gerobak yang dilengkapi tape dan pengeras suara, yang meminjamkan uang siraman. Ini adalah istilah untuk ongkos jalan, nilainya sekitar Rp 100-200 ribu untuk setiap kelompok pengamen. Digunakan di antaranya untuk carter angkot dan bajaj itu secara patungan.
Tauke ondel-ondel di Kampung Gaplok di antaranya adalah Agus Hermawan, pemilik Sanggar Resos Palaksi (Respal). Dia mengatakan, sejak 2011 hingga kini menampung sedikitnya 40 orang di sekitar rumahnya untuk mengamen.
Agus membekali dengan 13 set perlengkapan ondel-ondel miliknya. Satu set perlengkapan nandak disewakan Rp 50 ribu per hari. "Ondel-ondel adalah alternatif bagi mereka yang sulit mencari kerja di Jakarta, yang putus sekolah," katanya.
Ketua Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi, Andi Yahya, membenarkan telah sejak lama ondel-ondel dijadikan sarana mengamen. Ini, lanjut dia, bisa menjadi cara kesenian tradisional mempertahankan diri dan identitasnya di tengah lonjakan urbanisasi.
"Tapi yang sekarang terlihat, ondel-ondel dimanfaatkan untuk mencari duit tanpa menghiraukan pakem atau tata cara ngamen," kata Andi.
Dia berharap pemerintah DKI Jakarta mau mengatur para pengamen itu sembari menguatkan kembali seni dan budaya ondel-ondel. Andi tidak ingin melihat para pengamen luntang lantung di jalan-jalan.
"Pengamen juga harus menjunjung tinggi martabat kesenian. Tidak seperti sekarang yang terlihat asal dan tidak menghargai kesenian," katanya lagi.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial DKI, Yayat Duhayat, mengaku kalau pemerintah daerah setempat telah melarang ondel-ondel dijadikan sarana mengamen di pinggir jalan. Razia pun telah sering dilakukan. "Tapi memang banyak yang berada di jalan," katanya.
Saat ditanya ihwal jumlah pengamen yang pernah terjaring razia, Yayat belum bisa menyebutkannya. "Kami sudah berusaha mencegah agar mereka tidak turun ke jalan," kata dia.