Petugas Satpol PP menindak pelanggar PSBB di Kawasan Pasar Baru, Jakarta, Senin, 31 Agustus 2020.Pemprov DKI Jakarta mulai berlakukan sanksi progresif pekan ini bagi pelanggar protokol kesehatan di masa PSBB. TEMPO/Muhammad Hidayat
TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman DKI Jakarta mendesak Pemerintah DKI segera membuat peraturan daerah untuk memberikan sanksi untuk pelanggar protokol kesehatan selama pandemi virus Corona. Ketua Ombudsman DKI Teguh Nugroho menuturkan sanksi hanya mungkin diberlakukan melalui peraturan daerah.
"Sanksi itu harus disepakati dua belah pihak (eksekutif dan legislatif). Pemberian sanksi hanya dimungkinkan di perda," kata Teguh melalui pesan teks, Ahad, 6 September 2020.
Menurut dia, peraturan gubernur yang menjadi landasan Pemerintah DKI menjatuhkan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan sangat lemah. Begitu juga bagi daerah lain yang masih menggunakan peraturan wali kota atau bupati.
Pemerintah, kata dia, sudah tidak bisa lagi beralasan bahwa kebijakan yang dikeluarkan dalam keadaan mendesak karena pandemi Covid-19 telah membekap Ibu Kota sejak Maret lalu. "Pergub bisa dimafhumi sebagai ketidakmampuan sementara dalam menyusun peraturan daerah."
Pembatasan sosial berskala besar atau PSBB telah diberlakukan sejak 10 April hingga 4 Juni lalu dan memasuki masa transisi fase pertama sampai sekarang. Melalui PSBB Transisi fase pertama pemerintah mulai merelaksasi kegiatan ekonomi dan sosial.
"PSBB Transisi sudah diperpanjang empat kali dan belum tahu sampai kapan." Kementerian Dalam Negeri juga sudah mewanti-wanti agar daerah segera membuat perda yang menjadi payung hukum pemberian sanksi protokol kesehatan.
Di DKI, kata dia, pembentukan perda untuk penerapan sanksi lebih mudah. DKI telah menerbitkan Pergub nomor 41 tahun 2020 tentang pemberian sanksi terhadap protokol kesehatan dalam PSBB, dan Surat Keputusan nomor 1447 tahun 2020 tentang tentang protokol pencegahan dan pengendalian Covid-19 di perkantoran atau tempat kerja pada masa transisi.
"Hanya butuh dua sampai tiga pekan mengubah Pergub dan SK itu menjadi perda. Jadi tidak ada alasan lagi."