Lonjakan Pasien Covid-19 dan Keletihan Para Tenaga Medis
Reporter
Imam Hamdi
Editor
Martha Warta Silaban
Selasa, 29 September 2020 18:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Beban kerja dokter Annisa Ratnasari mulai bertambah memasuki akhir Juli 2020. Saat itu, pasien Covid-19 semakin banyak berdatangan ke Rumah Sakit Umum Daerah Duren Sawit. Sebagian fasilitas rumah sakit khusus penderita gangguan jiwa di Jakarta Barat itu digunakan untuk menangani pasien Covid-19 dengan gejala sedang hingga berat.
"Akhir Juli pasien mulai melejit. Rumah sakit (ruang isolasi) dan ICU (ruang perawatan intensif) mulai full," kata dokter berusia 26 tahun itu, Senin, 28 September 2020. Annisa merupakan satu dari 10 dokter relawan yang ditugaskan untuk menangani pasien Covid-19 sejak April 2020 lalu di RSUD Duren Sawit.
Baca Juga: Update Kasus Covid-19 Jakarta Hari Ini, Pasien Positif Bertambah 1.132 Orang
Menurut Annisa, lonjakan pasien terjadi seiring langkah Pemerintah DKI menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB Transisi pada 5 Juni 2020. Sebelum transisi normal baru, kata dia, pasien Covid-19 di RSUD Duren Sawit masih di bawah 100 orang. Sebulan relaksasi diterapkan, pasien yang dirawat melonjak menjadi 250 orang hingga membuat bangsal isolasi dan ICU penuh.
Lonjakan pasien tersebut, menurut Annisa, belum diimbangi dengan penambahan tenaga kesehatan. Walhasil, banyak dokter dan perawat limbung hingga mengalami burnout atau kelelahan mental melihat pasien Covid-19 yang terus berdatangan. Per hari Annisa dan dokter lainnya mendapatkan tugas untuk memeriksa sedikitnya 50 pasien.
Burnout adalah sindroma psikologis akibat respon kronik terhadap stressor atau konflik. "Agustus saya dan teman-teman sempat merasakan burnout dan kelelahan melihat pasien terus bertambah dan yang meninggal juga semakin banyak," ucapnya. "Saya bahkan sempat berpikir mau berhenti kerja saat itu."
Kelelahan mental dan fisik semakin menjadi karena tenaga medis nyaris tidak mempunyai hari libur. Waktu beristirahat bagi dokter, kata dia, hanya setelah lepas piket malam. "Setelah itu kami kerja lagi, kerja lagi, kerja lagi. Kami mulai kelelahan," ujarnya. "Belum lagi kalau ada dokter yang sakit. Kami harus menggantikan jadwal tugasnya."
Pemerintah, menurut dia, bertindak cepat merespon keadaan tenaga kesehatan yang sudah kewalahan merawat pasien. Pada awal September, Pemerintah DKI menambah tenaga kesehatan untuk seluruh rumah sakit yang menangani pasien Covid-19. RSUD Duren Sawit mendapatkan tambahan 10 dokter khusus untuk penanganan Covid-19.
Penambahan tenaga kesehatan itu, kata dia, telah mengurangi sedikit beban dokter dan perawat. Namun menurut dia, pengorbanan tenaga kesehatan tidak akan berarti tanpa kesadaran masyarakat menerapkan protokol kesehatan seperti mencuci tangan, menjaga jarak dan sering mencuci tangan. "Jangan baru sadar ketika kita atau saudara sudah ada yang kena atau meninggal."
Dokter umum di RSUD Cileungsi itu berharap pemerintah terus mempertahankan pembatasan sosial guna menekan penularan virus corona. Pembatasan sosial, menurut dia, mampu mengurangi mobilitas warga yang berpotensi terhadap penularan virus ini. Masyarakat pun diharapkan terus meningkatkan kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan.
Pembatasan sosial kembali diterapkan Pemerintah DKI selama 14 hari sejak 14 September lalu. Pemerintah memperpanjang PSBB selama dua pekan hingga 11 Oktober, karena masih harus menekan penularan wabah. "PSBB ini bagus karena berdampak terhadap penurunan pasien," ujarnya.<!--more-->
Data yang dirilis Pemerintah DKI menunjukkan peningkatan kasus aktif melambat dari 49 persen menjadi 12 persen sejak pembatasan sosial ketat diberlakukan kembali dua pekan lalu. Data itu terlihat dari penambahan kasus aktif Covid-19 pada 30 Agustus hingga 11 September 2020 sebanyak 3.864 kasus aktif. Pada periode masa transisi itu jumlah kasus aktif sebanyak 11.824 kasus.
Sedangkan penambahan pada periode kedua sejak 12-23 September 2020 atau dalam 12 hari, tercatat meningkat 1.453 kasus atau 12 persen. Jumlah kasus aktif mencapai 13.277 kasus pada 23 September kemarin. Menurut Annisa, penurunan kasus aktif ini harus terus dipertahankan.
Sebabnya, jika terjadi lonjakan pasien kembali maka potensi rumah sakit kolaps dan tenaga kesehatan burnout bisa saja terjadi. "Berita rumah sakit dan ICU sudah full itu benar. Jadi bukan nakut-nakutin kalau informasi rumah sakit sudah penuh."
Masyarakat juga diharapkan ikut merasakan beban tenaga kesehatan dalam merawat pasien di tengah pandemi ini. Selama pandemi tenaga kesehatan harus menahan lapar, haus hingga buang air kecil dan besar selama 6-8 jam karena menggunakan hazardous material suit atau Hazmat. "Kami juga berisiko tertular karena merawat pasien," ujarnya. "Jadi kami cuma minta masyarakat patuh dan jangan ke mana-mana dulu untuk membantu tenaga kesehatan."
Defta Saputra, perawat yang menjadi relawan kesehatan di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, juga mempunyai harapan yang sama. Ia berharap pemerintah tetap mempertahankan pembatasan untuk menekan lonjakan pasien Covid-19. Sebabnya, lonjakan pasien yang cukup tinggi pada akhir Juni kemarin telah berdampak langsung terhadap pria berusia 24 tahun itu.
Lonjakan pasien itu membuat mentalnya terganggu karena melihat pasien yang tak kunjung berkurang. Puncaknya, pada pekan ketiga Juni lalu, Defta memutus berhenti total merawat pasien Covid-19 selama dua pekan. "Saya berhenti kerja bukan karena sakit. Tapi karena saya merasa mental saya down (turun) melihat pasien terus meningkat," kata Defta yang bertugas merawat pasien di Tower 7 RSD Wisma Atlet.
Selain itu, yang membuatnya bertambah stres adalah stigma masyarakat terhadap tenaga kesehatan yang merawat pasien Covid-19, sebagai infeksius dan dijauhi. Ia juga jengkel melihat banyak masyarakat mengabaikan protokol kesehatan begitu pemerintah menerapkan transisi. Belum lagi mendengar sebagian masyarakat menganggap Covid-19 ini konspirasi dan isu politik. "Ngapain saya kerja keras di sini. Sedangkan di luar sana pandangannya seperti itu dan tidak patuh," ujarnya.
Pria asal Bengkulu itu menyatakan ingin segera pulang ke kampung halamannya karena merasa tak kuat lagi bekerja. Ia menghubungi ibunya untuk mengabarkan keputusannya berhenti kerja dan kembali ke Bengkulu.
"Tapi dilarang. Orang tua saya bilang kalau masih sayang ibu tetap di sana. Ibu bapak doakan yang terbaik."Nasihat orang tua membuat Defta luluh dan memutuskan untuk bertahan di Wisma Atlet.
Selain orang tua, tenaga kesehatan lain juga memberi dukungan agar perawat dari Rumah Sakif Karya Medika 1 Cikarang itu tetap bekerja. "Saya juga termotivasi sendiri kalau saya diam dan terus sedih justru memperburuk psikis saya. Saya berpikir banyak orang masih membutuhkan bantuan."<!--more-->
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Profesor Ari Fahrial Syam mengatakan beban kerja yang meningkat selama pandemi membuat tenaga kesehatan rentan mengalami stres dan kelelahan kronis. Hasil penelitian FKUI mendapati 83 persen tenaga kesehatan telah mengalami burnout.
"82 persen kategori burnout tingkat sedang dan 1 persen berat. Sedangkan 17 persen bergejala ringan," kata Ari. Penelitian burnout di kalangan tenaga kesehatan Indonesia di masa pandemi ini dilakukan pada Februari-Agustus dengan pengumpulan data pada Juni-Agustus 2020. Jumlah responden mencapai 1.461 orang secara sukarela mengisi kuesioner Maslach Burnout Inventory tervalidasi.
Ari menuturkan terdapat tiga gejala burnout, yakni keletihan emosi, kehilangan empati dan menurunnya rasa percaya diri. Menurut dia, bila burnout ini tidak diatasi bisa berdampak terhadap kesehatan mental tenaga kesehatan hingga kematian karena imunitas mereka menurun.
Dari hasil penelitian itu tenaga kesehatan yang menangani langsung pasien Covid-19 berpotensi hampir dua kali lipat terkena burnout. Sebabnya mereka nyaris tidak pernah beristirahat, kelelahan, dan berpotensi tinggi tertular wabah ini. "Situasi ini membuat kecemasan mereka meningkat sehingga tingkat burnout menjadi lebih tinggi," ujar Guru Besar Penyakit Dalam FKUI ini.
Ari menyarankan pemerintah segera mengatasi hulu masalah ini, yakni dengan mengatur waktu kerja agar proporsional dan penambahan tenaga kesehatan. Ia juga menyarankan pemerintah mengedukasi fasilitas kesehatan untuk memperhatikan gejala burnout tenaga medis serta memberikan layanan konseling psikologis kepada tenaga kesehatan yang membutuhkan.
Kemudian yang terpenting adalah pemerintah melakukan pembatasan yang ketat untuk menekan penularan pagebluk corona ini. "Swab rutin juga perlu dilakukan kepada tenaga kesehatan sebagai bagian dari screening mereka," ujarnya.
Lebih jauh Ari berharap pemerintah juga bisa memberikan keamanan para tenaga kesehatan saat bertugas dengan menyiapkan alat perlindungan diri yang lengkap dan selalu tersedia. "Untuk membuat ketenangan nakes senjata (APD) harus siap. Jangan sampai kekurangan."
Menurut dia, minimnya APD bisa berdampak terhadap keselamatan tenaga kesehatan. Hingga pekan lalu, kata dia, Ikatan Dokter Indonesia telah menyatakan 115 dokter gugur karena Covid-19. Tingginya angka kematian dokter dan tenaga kesehatan itu menandakan persoalan kritis dalam penanggulangan wabah.
Sebagai garda terakhir penanggulangan Covid-19, kata dia, pemerintah harus memperhatikan keselamatan tenaga kesehatan. Semakin banyak tenaga kesehatan yang tumbang bakal berimbas terhadap penanganan pasien. Situs laporcovid.org mencatat hingga Selasa, 29 September 2020, dokter yang meninggal telah mencapai 131 orang, perawat 95 orang, dokter gigi 8 orang dan bidan enam orang. "Jangan biarkan tenaga kesehatan berperang tanpa senjata yang memadai karena mereka mempertaruhkan nyawa," ucapnya.<!--more-->
Selain itu, ia meminta pemerintah menunda penyelenggaraan pemilihan kepalada daerah tahun ini karena berpotensi tinggi meningkatkan penularan SARS-CoV 2. Menurut Ari, jika kebijakan pemerintah tidak mendukung pengendalian wabah ini, maka pandemi bakal semakin lama berakhir.
"Hentikan kegiatan yang berpotensi tinggi menambah pasien Covid-19. Penanganan Covid-19 di Indonesia sudah jeblok jadi harus ada pengetatan luar biasa. Bukan membiarkan potensi kerumunan massa pada saat pilkada," ujarnya kembali menegaskan.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Widyastuti mengatakan pemerintah telah mengantisipasi terjadinya burnout terhadap tenaga kesehatan. Pemerintah pun telah menyiapkan sejumlah kebijakan untuk para tenaga kesehatan seperti menyediakan akomodasi untuk tempat beristirahat, dan menyiapkan tim psikososial untuk membantu konseling mereka.
"Tim psikososial kami siapkan 15 orang untuk mendampingi tenaga kesehatan yang membutuhkan," ujarnya. "Selain itu, di setiap puskesmas dan rumah sakit yang kami miliki juga ada psikolog yang siap membantu."
Widyastuti menuturkan pemerintah pun telah berupaya mengatur jam kerja tenaga kesehatan agar mereka tidak kelelahan. Selain itu, pemerintah melatih tenaga kesehatan non Covid-19 agar siap membantu saat dibutuhkan. "Kalau ada yang sakit tenaga non Covid-19 siap diperbantukan. Karena mereka sudah mengikuti on job training."
Pemerintah DKI, lanjut Widyastuti, juga telah merekrut 1.173 tenaga kesehatan tambahan untuk masa kerja September hingga Desember. "Dengan jumlah tenaga yang lebih banyak maka bisa ada redistribusi dan refungsi SDM (sumber daya manusia) di rumah sakit."
Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan pemerintah harus berusaha menekan penularan wabah untuk meringankan beban rumah sakit dan tenaga kesehatan. Sebabnya, semakin tinggi penularan bakal berimbas terhadap kemampuan rumah sakit dan tenaga kesehatan yang menanganinya. "Mereka bisa kolaps," ujarnya.
Kelelahan mental pun bakal terus menghantui para tenaga kesehatan jika pasien Covid-19 terus bertambah. Menurut dia, seberapa pun penambahan fasilitas dan tenaga kesehatan tidak cukup untuk menangani wabah ini. Yang harus dilakukan adalah menekan penularan virus ini.
"Sekarang sudah terlihat. Meski rumah sakit terus menambah fasilitas isolasi dan ICU tetap saja semuanya hampir full karena pasien terus bertambah," ujarnya. "Yang harus dilakukan adalah perketat pembatasan untuk menyelamatkan nyawa warga dan tenaga kesehatan yang sudah berkorban."