Warga Jakarta Ini Ajukan Uji Materi Perda Covid-19 Soal Denda Tolak Vaksinasi

Reporter

Imam Hamdi

Editor

Juli Hantoro

Jumat, 18 Desember 2020 14:30 WIB

Ilustrasi Vaksin Covid-19. REUTERS/Dado Ruvic

TEMPO.CO, Jakarta - Seorang warga Jakarta bernama Happy Hayati Helmi mengajukan uji materi Peraturan Daerah DKI nomor 2 tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 atau Perda Covid-19 ke Mahkamah Agung. Adapun pasal yang diuji adalah pasal 20 tentang denda Rp 5 juta bagi warga yang tidak mau disuntik vaksin Covid-19.

Adapun Happy mengajukan uji materi bersama tiga orang kuasa hukumnya, yakni Viktor Santoso Tandiasa, Yohanes Mahatma Pambudianto dan Arief Triono, pada Rabu, 16 Desember 2020. Menurut Viktor melalui keterangan tertulisnya, frasa “dan/atau vaksinasi Covid-19” di perda tersebut bertentangan dengan sejumlah undang-undang.

"Pemohon merupakan Warga Negara Indonesia, yang berdomisili di DKI Jakarta, dan berprofesi sebagai advokat yang kesehariannya sebagian besar melakukan aktivitas profesi di DKI Jakarta," ujarnya. "Artinya keberlakuan Perda 2/2020 berdampak langsung pada Pemohon."

Adapun undang-undang yang dimaksud, yakni Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, dan UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Paksaan vaksinasi Covid-19 bagi pemohon tentunya tidak memberikan pilihan untuk dapat menolak karena bermuatan sanksi pidana denda Rp 5 juta. Besaran denda tersebut di luar kemampuan pemohon yang juga memiliki suami, adik dan anak yang masih balita.

Advertising
Advertising

Baca juga: Perda Covid-19 Jakarta Resmi Berlaku Sejak 12 November 2020

"Artinya apabila pemohon menolak vaksinasi bagi keluarganya, maka pemohon harus membayar denda sebesar Rp 20 juta untuk empat orang."

Selain itu, setelah denda Rp 20 juta dibayar tidak berarti ancaman untuk membayar denda bagi pemohon selesai. Sebabnya, dalam ketentuan norma Pasal 30 Perda 2/2020 tidak dijelaskan apakah setelah
membayar denda maka setiap orang yang menolak vaksinasi Covid-19 telah melepas kewajibannya untuk mendapatkan vaksinasi di kemudian hari.

"Artinya bisa saja jika Pemohon menolak vaksinasi dengan membayar denda, di kemudian hari datang kembali petugas untuk melakukan vaksinasi Covid-19 kepada pemohon dan keluarganya," ujarnya.

Viktor sangat menyadari penyusunan Perda 2/2020 adalah upaya pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Namun, sebagai warga DKI Jakarta, kata dia, pemohon memiliki hak yang dijamin UU 36/2009 untuk menentukan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.

"Dengan kata lain pemohon tidak menafikan upaya pemerintah dalam penanggulangan penyebaran Covid-19, namun dengan tidak melanggar hak-hak pemohon yang dijamin dalam UU."

Viktor menuturkan melihat ketentuan norma a quo secara tekstual dan gramatikal, mengandung sifat yang memaksa kepada setiap warga masyarakat yang berdomisili di DKI karena terdapat sanksi pidana bagi setiap orang yang yang menolak dilakukan vaksinasi Covid-19.

Hal ini, menurut dia, bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) UU 36/2009 yang memberikan hak kepada setiap orang secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya.

"Terlebih lagi menurut Menteri Kesehatan Vaksinasi hanya pertahanan kedua dari risiko penularan Covid-19. Pertahanan utama yang harus dijalankan oleh masyarakat adalah Protokol 3M yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.

Semestinya masyarakat memiliki kebebasan...

<!--more-->

Viktor menegaskan semestinya masyarakat memiliki kebebasan untuk menentukan menjalankan protokol 3M secara tertib atau melakukan vaksinasi Covid-19.

Pemberian sanksi pidana denda kepada setiap warga juga bertentangan dengan Pasal 3 ayat (2) UU 39/1999 yakni terhadap hak atas jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan
kepastian hukum dalam semangat di depan hukum.

Pengaturan sanksi pidana denda bagi setiap warga tidak menjamin perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta tidak memberikan kepastian hukum. "Mengingat setiap warga DKI Jakarta memiliki tingkat ekonomi yang berbeda-beda."

Bagi warga masyarakat tidak mau dilakukan vaksinasi Covid-19, namun secara ekonomi mampu membayar denda maka mereka bisa memilih untuk tidak dilakukan vaksinasi. Sedangkan, bagi warga yang tidak
mampu membayar denda, maka mau tidak mau harus dilakukan vaksinasi Covid-19.

Padahal terkait dengan efektivitas, efek samping vaksin Covid-19 belum diketahui secara pasti. Bahkan perusahaan Sinovac yang memproduksi vaksin Covid-19 yang saat ini telah masuk ke Indonesia sebanyak 1,2 juta menyebutkan bahwa hingga saat ini belum diketahui kemanjuran dari vaksin tersebut.

Selain itu, tidak adanya jaminan kepastian hukum juga dapat terjadi atas pemberlakuan sanksi pidana denda lebih dari satu kali terhadap warga yang menolak untuk dilakukan vaksinasi.

Karena tidak ada kejelasan dalam ketentuan norma a quo, kata Viktor, apakah terhadap warga yang sudah membayar denda karena menolak dilakukan vaksinasi, maka di kemudian hari tidak akan dikenakan kembali sanksi pidana denda terhadap warga masyarakat tersebut.

Karena bisa saja petugas di lapangan mendatangi kembali warga masyarakat yang sudah membayar denda saat menolak untuk dilakukan vaksinasi Covid-19.

Adanya ketentuan norma yang memberikan sanksi pidana kepada setiap warga sebagaimana diatur dalam ketentuan norma a quo juga telah bertentangan dengan cerminan asas keadilan dan ketertiban dan kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf i UU 12/2011.

Menurut Viktor, materi muatan dalam ketentuan norma a quo sangatlah tidak mencerminkan asas keadilan serta asas ketertiban dan kepastian hukum, karena selain sebagaimana telah dijelaskan di atas, terkait adanya
pertentangan dengan jaminan kepastian hukum dan keadilan. "Juga tidak mencerminkan ketertiban dimana aturan ini tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat," ujarnya.

Lebih jauh Viktor menuturkan Menteri BUMN pernah dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada pemaksaan vaksinasi Covid-19. Perbedaan kebijakan ini tentunya akan menimbulkan kekisruhan politik di mana warga akan menolak dengan dasar pernyataan yang disampaikan oleh Menteri BUMN bahwa tidak adanya paksaan atas upaya vaksinasi Covid-19.

"Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka terhadap frasa: “dan/atau vaksinasi Covid-19” sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Perda 2/2020 telah terbukti bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) UU 36/2009, Pasal 3 ayat (2) UU 39/2009, dan Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf i UU 12/2011."

Berita terkait

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

8 jam lalu

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

Astrazeneca pertama kalinya mengakui efek samping vaksin Covid-19 yang diproduksi perusahaan. Apa saja fakta-fakta seputar kasus ini?

Baca Selengkapnya

Untuk Pertama Kali, AstraZeneca Akui Vaksin Covidnya Punya Efek Samping Langka

1 hari lalu

Untuk Pertama Kali, AstraZeneca Akui Vaksin Covidnya Punya Efek Samping Langka

Perusahaan farmasi AstraZeneca digugat dalam gugatan class action atas klaim bahwa vaksin Covid-19 produksinya menyebabkan kematian dan cedera serius

Baca Selengkapnya

Kejaksaan Agung Geledah Rumah Helena Lim, Kasus Apa? Ini Profil Crazy Rich PIK dan Sederet Kontroversinya

46 hari lalu

Kejaksaan Agung Geledah Rumah Helena Lim, Kasus Apa? Ini Profil Crazy Rich PIK dan Sederet Kontroversinya

Crazy rich PIK Helena Lim menjadi sorotan lantaran rumahnya digeledah Kejaksaan Agung, dugaan kasus korupsi izin tambang timah. Siapakah dia?

Baca Selengkapnya

Pria Ini Sudah Disuntik Vaksin Covid-19 217 Kali, Apa Dampaknya?

56 hari lalu

Pria Ini Sudah Disuntik Vaksin Covid-19 217 Kali, Apa Dampaknya?

Seorang pria di Jerman mendapat suntikan Vaksin Covid-19 sebanyak 217 kali dalam waktu 29 bulan.

Baca Selengkapnya

Sidang Uji Materi UU Pilkada, Perludem Minta Pilkada Diundur Maret 2025

25 Februari 2024

Sidang Uji Materi UU Pilkada, Perludem Minta Pilkada Diundur Maret 2025

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materi UU Pilkada yang diajukan oleh Perludem

Baca Selengkapnya

Uji Materi UU Pemilu, Ahli Hukum UI Sebut Presiden Nepotisme jika Kampanyekan Keluarga

23 Februari 2024

Uji Materi UU Pemilu, Ahli Hukum UI Sebut Presiden Nepotisme jika Kampanyekan Keluarga

Ahli dari Fakultas Hukum UI, Heru Susetyo, menilai presiden melakukan nepotisme jika mengkampanyekan keluarganya saat Pemilu

Baca Selengkapnya

Ini Sederet Alasan GIPI Ajukan Uji Materi terkait Kenaikan Pajak Hiburan ke MK

8 Februari 2024

Ini Sederet Alasan GIPI Ajukan Uji Materi terkait Kenaikan Pajak Hiburan ke MK

Berikut alasan GIPI melayangkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi soal kenaikan pajak hiburan hingg 75 persen.

Baca Selengkapnya

Gugat Rp 500 Miliar, Almas Tsaqibbirru Tuntut Denny Indrayana Minta Maaf di Lima Media Nasional

2 Februari 2024

Gugat Rp 500 Miliar, Almas Tsaqibbirru Tuntut Denny Indrayana Minta Maaf di Lima Media Nasional

Denny Indrayana menuduh Almas Tsaqibbirru terlibat kejahatan terorganisasi atas uji materi UU Pemilu yang memberi jalan Gibran maju jadi cawapres.

Baca Selengkapnya

Sidang Almas Tsaqibbirru Gugat Gibran Rp 10 Juta Digelar Sehari Setelah Pencoblosan

1 Februari 2024

Sidang Almas Tsaqibbirru Gugat Gibran Rp 10 Juta Digelar Sehari Setelah Pencoblosan

Almas Tsaqibbirru meminta Gibran mengganti biaya advokat yang sudah ia keluarkan Rp 10 juta untuk uji materi UU Pemilu.

Baca Selengkapnya

11 Kepala Daerah Ajukan Uji Materi ke MK, Merasa Dirugikan atas Desain Pilkada Serentak 2024

26 Januari 2024

11 Kepala Daerah Ajukan Uji Materi ke MK, Merasa Dirugikan atas Desain Pilkada Serentak 2024

270 orang kepala daerah menganggap pasal 201 ayat (7), (8), dan (9) bermasalah hingga mengajukan judicial review lagi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Selengkapnya