Empat Temuan BPOM yang Ganjal Uji Klinis Vaksin Nusantara
Reporter
M Julnis Firmansyah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 17 Juni 2021 03:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Inisiator Vaksin Nusantara Letnan Jenderal TNI (Purn) Terawan Agus Putranto meminta dukungan Komisi VII DPR RI agar vaksin besutannya itu bisa diizinkan lanjut ke tahap uji klinis fase III. Sebelumnya, penelitian vaksin Nusantara dihentikan setelah menuai polemik. Apalagi Badan Pengawas Obat dan Makanan tak meluluskan uji klinis fase I
Berikut ini merupakan lima temuan BPOM yang mengganjal uji klinis tersebut.
1. Uji klinis Vaksin Nusantara berjalan tanpa pengawasan
Uji klinis tahap satu Vaksin Nusantara di RS Kariadi disebut berjalan tanpa pengawasan Komite Etik. Padahal, menurut Kepala BPOM Penny Lukito, komite etik di lokasi penelitian harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan uji klinik dan subjek penelitian.
Dalam kasus ini, penelitian dilakukan di RSUP Dr Kariadi, Semarang, bekerja sama dengan Universitas Diponegoro, Jawa Tengah. Sehingga, Penny menyebut RS Kariadi harus mempunyai komite etik yang mengawasi uji klinik di rumah sakit mereka.
Akan tetapi, komite etiknya justru berada di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. "Saya kira di awal itu tidak ada pembuktian bahwa keselamatan subjek penelitian itu jadi tanggung jawab komite etik," kata Penny.
2. Uji klinis I tak memenuhi good clinical practice
Salinan laporan BPOM terhadap hasil uji klinis fase 1 Vaksin Dendritik (AV-Covid19) alias Vaksin Nusantara, yang diperoleh Tempo, menyebutkan aspek cara uji klinik yang baik memang tak terpenuhi.
BPOM menemukan bahwa dari data baseline imunogenitas yang diserahkan, semua subjek yang diuji klinis ternyata sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19. Padahal seharusnya subjek yang diuji belum terpapar.
<!--more-->
BPOM menemukan bahwa dari data baseline imunogenitas yang diserahkan, semua subjek yang diuji klinis ternyata sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19. Padahal seharusnya subjek yang diuji belum terpapar.
Selain itu, dokumen ini menyebutkan penelitian vaksin yang dikembangkan oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan ini juga belum memenuhi aspek cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Lalu dari evaluasi imunogenitas, didapatkan 8 subjek (28,57 persen) yang mengalami penurunan kadar antibodi setelah 4 minggu vaksinasi dibandingkan dengan baseline.
3. Tak memenuhi konsep pembuktian
Penny menuturkan proof of concept dari Vaksin Nusantara juga belum terpenuhi. Antigen yang digunakan pada vaksin tersebut juga tidak memenuhi pharmaceutical grade.
Hasil dari uji klinis fase 1 terkait keamanan, efektivitas atau kemampuan potensi imunogenitas untuk meningkatkan antibodi juga belum meyakinkan. Sehingga penelitian vaksin ini memang belum bisa melangkah untuk fase selanjutnya.
Meski begitu, Penny menuturkan pihaknya tidak menghentikan vaksin Nusantara. Tim peneliti perlu melakukan perbaikan dan menyampaikan perbaikan kepada BPOM sebagaimana hasil review yang diberikan BPOM kepada tim peneliti vaksin Nusantara.
"Silakan diperbaiki proof of concept-nya, kemudian data-data yang dibutuhkan untuk pembuktian kesahihan validitas dari tahap 1 clinical trial, barulah kalau itu semua terpenuhi barulah kita putuskan apakah mungkin untuk melangkah ke fase selanjutnya," tuturnya.
4. Belum diujicobakan ke hewan
Anggota Tim Advokasi Vaksin Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Erlina Burhan, menjelaskan tim Vaksin Nusantara tidak bisa memenuhi permintaan BPOM terkait hasil laporan studi toksisitas, imugenesitas dan studi lain untuk mendukung pemilihan dosis dan rute.
Sebagai gantinya, tim menyebut vaksin sudah digunakan pada manusia dan bersifat autologus.
Padahal menurut Erlina, dalam langkah atau proses uji klinis pengembangan vaksin nusantara haruslah melalui studi praklinis terlebih dahulu, sebelum berlanjut ke uji klinis fase 1, II, III dan IV. "Mereka tidak melalui uji praklinik terhadap binatang," ujar dia.
BACA: Uji Awal Vaksin Nusantara, Terawan: Antibodi Masih Awet di Bulan Ketiga
M Julnis Firmansyah l Dewi Nurita | Jamal A Nashr