Buruh Minta UMP DKI Naik 13 Persen, Apindo: Kalau Besok Perusahaan Tutup Gimana
Reporter
Anisa Hafifah
Editor
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Sabtu, 19 November 2022 16:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta, Nurjaman, menanggapi tuntutan buruh yang meminta UMP DKI naik 13 persen. Ia meminta warga mengubah pola pikirnya soal kenaikan upah.
Nurjaman menjelaskan saat ini ekonomi di Indonesia masih belum pulih betul akibat pandemi selama dua tahun. Sebabnya Apindo mengajak warga lebih memikirkan keberlangsungan usaha ketimbang meminta kenaikan UMP yang tinggi.
"Kalau ada kelangsungan usaha niscaya akan ada kelangsungan pekerja. Tapi kalau kita berburu dengan yang tidak pasti itu dengan (kenaikan) UMP DKI 13 persen, kalau besok perusahaan tutup bagaimana? Percuma, kan," kata Nurjaman saat dihubungi Tempo, Sabtu, 19 November 2022.
Dengan begitu, Nurjaman berharap, baik pemerintah, pengusaha, maupun pekerja dapat mempertahankan dunia usaha untuk meningkatkan kelangsungan pekerjaan.
Dia juga mengungkapkan pihaknya belum mengajukan nilai untuk UMP DKI 2023 di rapat Dewan Pengupahan yang telah dilaksanakan pada Selasa, 15 November 2022. "Kami juga dari Apindo belum menyampaikan satu nilai karena kami juga masih butuh pemikiran yang luas," ungkap Nurjaman.
Upah Minimum Naik Maksimal 10 Persen, Kemnaker: Untuk Jaga Daya Beli Masyarakat
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan alasan pemerintah menaikan upah minimum provinsi (UMP) maupun upah minimum kabupaten dan kota (UMK) dengan batas maksimal 10 persen. Ia berujar perhitungan penyesuaian upah minimum 2023 didasarkan pada kemampuan daya beli masyarakat.
"Kemampuan daya beli itu diwakili variabel tingkat inflasi dan variabel pertumbuhan ekonomi yang tercipta dari indikator produktivitas dan indikator perluasan kesempatan kerja," tuturnya dalam video YouTube yang diunggah pada Sabtu, 19 November 2022.
Selanjutnya: Kondisi sosial ekonomi masyarakat
<!--more-->
Ia menjelaskan saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih akibat dampak pandemi Covid-19. Daya beli juga semakin menurun seiring ketidakpastian ekonomi global yang berimplikasi menekan laju pemulihan ekonomi nasional. Padahal struktur ekonomi nasional mayoritas di sumbang oleh konsumsi masyarakat. Maka pemulihannya sangat dipengaruhi oleh daya beli dan fluktuasi harga.
Karena itu, pemerintah tak lagi menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) 36 tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai acuan karena dinilai belum dapat mengakomodir dampak dari kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Dalam beleid itu, penentuan upah minimum tidak seimbang dengan laju kenaikan harga-harga barang. Sehingga dikhawatirkan akan mengakibatkan menurunnya daya beli pekerja terjadi kembali di tahun 2023.
Dalam beleid itu, penentuan upah minimum tidak seimbang dengan laju kenaikan harga-harga barang. Sehingga dikhawatirkan akan mengakibatkan menurunnya daya beli pekerja terjadi kembali di tahun 2023.
Alhasil pemerintah memutuskan untuk mengeluarkan aturan khusus, melalui peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang penetapan upah minimum tahun 2023.
RIANI SANUSI PUTRI
Baca juga: Massa Buruh Gelar Demo di Balai Kota, Kecewa Tak Bisa Bertemu Heru Budi Hartono