KPAI Kritik Penanganan Kasus AG Eks Pacar Mario Dandy, Ini Tanggapan Kompolnas
Reporter
Tempo.co
Editor
Naufal Ridhwan
Minggu, 16 April 2023 18:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkritik hakim Sri Wahyuni dalam persidangan eks pacar Mario Dandy Satriyo, AG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Remaja berusia 15 tahun itu menjadi anak berkonflik dengan hukum di kasus penganiayaan Cristalino David Ozora.
Komisioner KPAI, Dian Sasmita, mengatakan bahwa hakim terlalu rinci dalam poin pertimbangannya hingga menyebutkan aktivitas seksual anak AG. Dian menilai hal ini bertentangan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yakni berperilaku arif dan bijaksana. Hakim diharapkan memiliki sikap tenggang rasa yang tinggi, hati-hati, dan memperhitungkan akibat dari tindakannya.
“Dampak dari pembacaan tersebut adalah meningkatnya frekuensi labelling pada anak,” kata Dian dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, 15 April 2023.
Hasil Pemeriksaan Psikolog Forensik AG Tidak Disampaikan
Selain itu, berdasarkan pengawasan KPAI, hasil analisis pemeriksaan psikolog forensik terhadap AG tidak disampaikan dalam persidangan. Dian menyebut hal ini dikonfirmasi oleh kuasa hukum AG.
Padahal AG telah diperiksa psikolog forensik sebanyak tiga kali. Hasil telaah psikologis anak bersama hasil penelitian kemasyarakatan Bapas penting karena dua dokumen tersebut membantu aparat penegak hukum melihat kondisi psikis dan sosial anak secara utuh.
“Perbuatan anak tidak pernah bebas dari pengaruh di luar dirinya,” ucap Dian.
Dian menuturkan setiap anak berhak atas diperlakukan adil termasuk AG.
“Anak berhadapan dengan hukum diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak sesuai dengan Pasal 64 UU Perlindungan anak,” ujar Dian.<!--more-->
Soroti Vonis Pidana 3,5 Tahun AG
Dian menyoroti pula hakim Sri Wahyuni yang memvonis AG hukuman pidana 3,5 tahun di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Menurut Dian, perampasan kemerdekaan anak adalah upaya terakhir dan sesingkat mungkin.
Dian menuturkan usia kurang dari 18 tahun adalah periode perkembangan kepribadian, hubungan emosional dengan sesama, kecakapan sosial dan pendidikan, serta talenta anak. Oleh karenanya UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) memberikan banyak pilihan lain dalam pidana pokok untuk perkara anak, dan menempatkan pidana penjara sebagai urutan terakhir.
“Artinya paradigma keadilan restoratif yang mendukung pemulihan anak harus digunakan dalam membuat putusan perkara,” katanya.
KPAI mengapresiasi penempatan AG di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) selama proses hukum karena anak mendapatkan pendampingan psikososial oleh psikolog dan pekerja sosial. “Namun, vonis AG berupa pidana penjara di LPKA justru menghambat keberlanjutan rehabilitasi psikososial anak. Karena keterbatasan sarana kamar anak perempuan dan belum adanya psikolog di LPKA,” ujar Dian.
Kritik Wartawan dan Pemberitaannya
KPAI mengkritik pula wartawan yang mengerumuni AG selama pemeriksaan di Kepolisian. Menurut keterangan psikolog pendamping AG, peristiwa itu membuat dia trauma.
“Selain itu, berdasarkan keterangan kuasa hukum, terdapat beberapa surat terdakwa Mario kepada AG yang difasilitasi oknum penyidik menjadi konsumsi publik. Setiap anak yang berhadapan hukum memiliki hak untuk dihindarkan dari publikasi identitasnya dan pemberian kehidupan pribadi,” katanya.<!--more-->
Enam Rekomendasi KPAI
Atas rangkaian kejadian yang terjadi selama pemeriksaan dan persidangan AG, KPAI merekomendasikan enam hal, yaitu:
- Meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DKI Jakarta memastikan terpenuhinya hak-hak anak berhadapan hukum, baik korban, saksi, dan pelaku, untuk mendukung pemulihan anak secara utuh dan berkelanjutan.
- Mendesak Dewan Pers memberikan peringatan tegas terhadap media cetak dan elektronik yang telah melakukan pelanggaran UU SPPA dan mengeksploitasi identitas anak berhadapan hukum sehingga mengakibatkan dampak luar biasa dan berkepanjangan pada tumbuh kembang anak. “Serta mengakibatkan trial by press yang jauh dari prinsip kepastian hukum dan perlindungan anak,” katanya.
- Meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa hakim Sri Wahyudi Batubara secara etik terkait proses persidangan terhadap anak AG yang melanggar beberapa prinsip dan hak dasar anak yang berkonflik dengan hukum.
- Meminta Komisi Kejaksaan agar memeriksa jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang menangani perkara kasus AG karena tidak menyertakan hasil pemeriksaan psikolog forensik terhadap anak.
- Meminta Komisi Kepolisian Nasional untuk memeriksa dugaan pelanggaran hak anak selama proses penyidikan di Polres Jakarta Selatan yang mengakibatkan terpublikasinya identitas dan kehidupan pribadi anak sehingga menambah trauma pada anak. SPPA berusaha keras untuk menjauhkan anak dari dampak buruk peradilan pidana.
- Paradigma keadilan restoratif wajib digunakan mulai dari tahap pra adjudikasi, adjudikasi, dan post-adjudikasi termasuk tahap reintegrasi sosial. KPAI mendesak untuk dilakukan peningkatan kapasitas bagi aparat penegak hukum terkait UU SPPA dan hak anak agar tidak ada lagi pelanggaran hak anak berhadapan hukum di semua tahapan proses pidana.
"Sistem Peradilan Pidana Anak dengan keadilan restoratif hadir sebagai bentuk komitmen serius negara untuk pemenuhan hak anak dan perlindungan anak. Karena setiap anak berhak untuk kesempatan kedua," katanya.<!--more-->
Tanggapan Kompolnas, Sebut Belum Terima Rekomendasi dari KPAI
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas Poengky Indarti menyatakan belum menerima surat rekomendasi perihal KPAI yang mengecam penanganan pemeriksaan, penetapan hingga pembacaan vonis tuntutan AG.
"Terkait dengan rekomendasi KPAI kepada beberapa komisi pengawas institusi penegak hukum dan pengawas media, salah satunya adalah ditujukan kepada Kompolnas yang merupakan pengawas fungsional Polri. Kami baru membaca rekomendasi tersebut di media massa. Kami belum menerima surat rekomendasi dari KPAI terkait hal itu," kata Poengky kepada Tempo, Ahad, 16 April 2023.
Poengky mengatakan kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy ini menjadi perhatian publik. Karena itu, pihaknya akan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan KPAI, apakah prosedur penanganannya, terutama dalam institusi Polri, sudah benar atau tidak.
"Sebagai sesama komisi negara, kami mempunyai MoU dengan KPAI untuk melihat apakah benar penyidik melakukan kekeliruan dalam menangani kasus yang melibatkan anak berkonflik dengan hukum itu," ucapnya.
Kasus penganiayaan D, kata Poengky, menonjol di publik karena ada dua anak yang terseret dalam permasalahan itu, yakni AG,15 tahun dan D, 17 tahun.
"Kasus ini memang menjadi kasus menonjol yang menjadi perhatian publik. Ada dua anak dalam kasus ini yang posisinya berhadap-hadapan dan keduanya perlu dilindungi," katanya.
DESTY LUTHFIANI
Pilihan Editor: Kode di Balik Suap Wali Kota Bandung Yana Mulyana, dari Nganter Musang King hingga Everybody Happy