Dirty Vote Bongkar Sederet Kejanggalan Putusan MK yang Loloskan Gibran Jadi Cawapres
Reporter
Andika Dwi
Editor
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Senin, 12 Februari 2024 16:14 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Film dokumenter Dirty Vote mengulas dugaan berbagai instrumen kekuasaan digunakan untuk melakukan kecurangan pada Pemilu 2024. Salah satu yang dibahas adalah kejanggalan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia minimal calon wakil presiden (cawapres).
Putusan MK bernomor 90/puu-xxi/2023 itu mengatur seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun. Putusan ini membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo, maju menjadi cawapres nomor urut 2 berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Putusan MK tersebut dianggap memiliki banyak kejanggalan dari berbagai sisi. Dalam film Dirty Vote, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menyebut putusan MK ini puncak dari rangkaian cerita tentang kecurangan Pemilu.
Setidaknya terdapat 11 poin kejanggalan dalam putusan MK ini mulai dari awal permohonan, jalannya persidangan, hingga konflik kepentingan yang muncul. Berikut adalah poin-poin kejanggalan putusan MK versi Dirty Vote:
1. Kontradiksi Mahkamah Konstitusi
Bivitri menyoroti sikap MK yang kontradiktif soal gugatan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Ia mencontohkan MK menolak 31 kali upaya gugatan soal syarat presidential threshold dengan berbagai alasan. Namun, MK dengan mudahnya mengabulkan gugatan perubahan batas usia yang menjadi salah satu syarat mencalonkan diri sebagai capres-cawapres hanya dalam satu kali permohonan.
2. Cara instan ubah UU tanpa DPR
Bivitri menilai mengubah undang-undang (UU) terkait batas usia cawapres melalui Mahkamah Konstitusi merupakan cara instan. Padahal seharusnya, sesuai pasal 20 UUD 1945, perubahan UU dilakukan oleh pembentuk undang-undang yakni DPR.
“Kita harus ingat cara untuk mengubah undang-undang melalui Mahkamah konstitusi sebenarnya adalah cara yang dalam tanda kutip instan,” tuturnya.
Berikutnya: Konflik kepentingan
<!--more-->
3. Konflik kepentingan
Bivitri menyatakan putusan MK tersebut dipengaruhi oleh konflik kepentingan, tetapi ia tidak memberikan penjelasan rinci mengenai perincian kejanggalan tersebut. “Kita juga akan melihat adanya konflik kepentingan” imbuhnya.
4. Pendapat hukum 9 Hakim Konstitusi
Pendapat hukum dari 9 hakim konstitusi juga menjadi faktor yang menyebabkan kejanggalan dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Bivitri menekankan adanya dua hakim, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic yang memberikan pendapat sejalan (concurring).
Bivitri menganggap pandangan keduanya sebenarnya lebih cenderung menolak, namun ironisnya, kedua pendapat tersebut dimasukkan dalam kategori sebagai pemberian persetujuan (mengabulkan).
5. Semua permohonan ditolak kecuali satu dan spesifik
Kejanggalan dalam putusan Mahkamah Konstitusi juga terlihat dari penolakan semua permohonan yang diajukan terkait masalah tersebut. Hanya satu permohonan yang akhirnya dikabulkan, dan keputusan tersebut sangat spesifik.
6. Keputusan langsung berlaku
Bivitri kemudian mengungkapkan terdapat keanehan lain yaitu keputusan tersebut langsung berlaku. Padahal, opsi untuk menunda keputusan tersebut hingga pemilu berikutnya atau beberapa tahun ke depan sebenarnya ada.
7. Permohonan didaftarkan lagi pada hari libur
Kejanggalan selanjutnya adalah adanya peristiwa di mana permohonan yang berkaitan dengan batas usia calon wakil presiden pernah ditarik kembali. Namun kemudian diajukan kembali pada hari libur.
Berikutnya: Pelanggaran etik berat
<!--more-->
8. Melanggar etik berat
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah menyimpulkan bahwa Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka, terlibat dalam pelanggaran etik yang serius. Namun, keputusan mereka tidak secara langsung membatalkan putusan. Sehingga putusan 90 tetap berlaku.
“Putusan MKMK karena terkait etik memang tidak langsung membatalkan putusan. Putusan 90 tetap berlaku,” ucap Bivitri.
9. Ketua MKMK berpotensi konflik kepentingan
Menurut Bivitri, Ketua MKMK, yaitu I Dewa Gede Palguna, memiliki potensi konflik kepentingan. Hal ini disebabkan karena menantu dari Ketua MKMK tersebut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari partai yang tergabung dalam koalisi Prabowo-Gibran. Anak dari Ketua MKMK juga memiliki posisi sebagai pengurus di partai yang sama.
10. Indikasi transaksi di balik Konstitusi
Bivitri juga menduga ada indikasi transaksi dalam proses pengajuan permohonan terkait batas usia calon wakil presiden. Dugaan ini muncul setelah pemohon, yaitu Almas Tsaqibbirru, menggugat Gibran Rakabuming Raka atas dugaan wanprestasi di pengadilan perdata.
11. Anwar Usman ingin jabatannya kembali
Kejanggalan putusan MK yang terakhir adalah eks Ketua MK Anwar Usman yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan tujuan untuk kembali menjabat sebagai Ketua MK. Padahal dia telah dikenai sanksi etik yang menyebabkan pencopotan dirinya dari posisi Ketua MK sebagai dampak dari putusan mengenai batas usia calon wakil presiden.
RIZKI DEWI AYU
Pilihan Editor: Polri Bagikan Bansos, Gubernur Kepri Bicara Pilpres Satu Putaran dan Ajak Warga Pilih Capres yang Lanjutkan Jokowi