Masyarakat Menilai Pemilu 2024 Penuh Kecurangan, Akan Menunggu Hasil Real Count KPU

Minggu, 18 Februari 2024 14:07 WIB

Petugas memeriksa data pengiriman dari lembar C-KWK saat uji coba Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) pemilihan serentak di SOR Volly Indoor Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, Rabu, 9 September 2020. Uji coba aplikasi Sirekap tersebut dalam rangka mempersiapkan pemungutan, penghitungan suara, sampai dengan tahapan rekap guna memastikan kesiapan penggunaannya dalam penyelenggara Pilkada serentak 2020 di daerah. ANTARA/M Agung Rajasa

TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian kalangan seperti akademisi dan aktivis demokrasi menilai pelaksanaan Pemilu 2024 diwarnai penuh kecurangan.

Dari hasil hitung cepat atau Quick count (QC) menunjukkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangkan pemilihan presiden.

TEMPO mewawancarai beberapa masyarakat yang tengah melakukan aktivitas car free day di area Bundaran HI sampai Setiabudi, Jakarta, untuk mengutarakan pendapatnya soal hasil quick count.

Seorang pengusaha bernama Wahyudi (38 tahun) asal Ciledug, Kota Tangerang, mengaku tidak puas dengan hasil sementara QC yang kerap ditampilkan baik itu di stasiun televisi swasta maupun melalui pemberitaan online. Menurutnya, hasil perhitungan sementara ini banyak sekali drama dan banyak kecurangan didalamnya. Wahyudi mengaitkan perolehan QC diduga berkaitan dengan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, karena ikut andil dalam memuluskan jalan putra bungsu nya, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju menjadi kontestan pilpres 2024.

“Ya kalau dari berita kan ketahuan tu banyak kecurangan, penggelembungan suara, udah nggak fair lah. Kalau perlu pemilu ulang aja, ini namanya memberi contoh yang buruk, Jokowi awal pemerintahan bagus tapi makin panjang berkuasa jadi berubah karakternya jadi menghalalkan segala cara buat anaknya,” kata Wahyudi saat saat ditemui TEMPO di kawasan CFD di Bundaran HI, Jakarta Pusat, pada Ahad, 18 Februari 2024.

Advertising
Advertising

Hal yang serupa juga dilontarkan oleh Ilham Priyanto, seorang karyawan swasta (32 tahun) bertempat tinggal di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menyarankan agar QC tidak perlu ditampilkan di berbagai televisi, karena QC bukan dasar dan patokan menentukan kemenangan paslon. “Nggak usah ditampilin di televisi gitu kan orang jadi kebawa opini, oh ini udah pasti menang nih, padahal sementara belum tentu,” jelas Ilham menjelaskan pendapatnya soal hasil sementara QC.

Baik Wahyudi maupun Ilham, sama-sama tidak mempermasalahkan siapa yang nantinya menang, namun yang menjadi masalah dan adanya keributan di masyarakat, karena Komisi Pemilihan Umum atau KPU RI kurang terbuka dan menaggapi suatu kesalahan. “Jadi masyarakat itu nggak caci maki, karena KPU yang punya data real nya jadi mending QC ditiadakan dulu,” kata Wahyudi.

Sejalan dengan itu, TEMPO menemui empat narasumber lain, seluruhnya kompak mengatakan tidak setuju dengan hasil sementara QC karena dianggap tidak masuk akal dan hanya menguntungkan salah satu paslon.

“Nggak puas, masa baru sore tiba-tiba udah ada hasil 56 persen, banyak amat padahal belum semua dan butuh proses lama juga kan,” ucap Siti Mariana (37 tahun) asal Ciracas, Jakarta Timur, saat ditemui, Ahad.

Seorang guru privat bernama Sigit (43 tahun) menjelaskan hasil QC itu merupakan sampel dari 10 persen suara, dan sama sekali tidak mengakomodir seluruhnya. “Jadi menurut saya QC itu bisa menjadi legitimasi bagi salah satu calon yang ‘diuntungkan’ dan harusnya memang tidak usah ditampilkan, cukup untuk pihak internal mereka aja,” kata Sigit.

Salah seorang pasangan suami istri bernama Desi Nurhinzah (45 tahun) dan suaminya Edi Aswandi (68 tahun) asal Bogor yang sedang istirahat sehabis cfd di dekat stasiun MRT Setiabudi, Jakarta Pusat, menyayangkan perbedaan dari hasil manual di Tempat Pemungutan Suara atau TPS dengan hasil C1 di website resmi KPU. “Udah ketahuan nggak bener nya sih, masa paslon 1 dan 3 sudah masukin data itu sesuai nggak bisa di edit, tapi paslon 2 setelah masukin data sesuai dan bisa diedit,” ucap Desi.

Sedangkan suami dari Desi Nurhinzah, yaitu Edi Aswandi mengatakan, ada kesalahan dari awal yang dilakukan oleh salah satu paslon, namun dari pihak KPU tetap memaksakan untuk bergabung dalam pemilu 2024. “Salah satu paslon itu bisa bergabung karena keputusan sepihak, cara dari awal udah nggak bener, mestinya dari awal di stop aja jangan sambil berjalan. Kalau udah gini kan panjang lagi urusannya,” jelas Edi.

Diantara enam narasumber yang berdalih serupa, TEMPO menemui narasumber lain dari kalangan Gen Z bernama Ilham Ramadhan yang baru berusia 20 tahun. Dirinya mengaku cukup puas dengan hasil quick count Pilpres. “Cukup puas, karena saya kebetulan juga dukung Pak Prabowo dan dia baik lah orangnya nanti juga buat yang kalah dikasih jatah menteri,” ucapnya.

Pilihan Editor: Suara Prabowo-Gibran 86 Ditulis 886 di TPS Ciputat Tangsel, Bawaslu: Salah Tulis Saja

Berita terkait

KPU: Anggota DPR, DPRD dan DPD Terpilih Harus Mundur Jika Maju Pilkada 2024

1 jam lalu

KPU: Anggota DPR, DPRD dan DPD Terpilih Harus Mundur Jika Maju Pilkada 2024

KPU menjelaskan mengenai ketentuan anggota dewan yang ingin ikut pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Hakim MK Soroti Sirekap Menjelang Pilkada, Perludem: Kalau Tak Disiapkan, Masalah di Pemilu Bisa Terulang

4 jam lalu

Hakim MK Soroti Sirekap Menjelang Pilkada, Perludem: Kalau Tak Disiapkan, Masalah di Pemilu Bisa Terulang

Perludem menanggapi soal hakim MK Arief Hidayat yang mewanti-wanti KPU soal permasalahan Sirekap menjelang pilkada serentak 2024.

Baca Selengkapnya

Hakim MK Soroti Potensi Masalah Sirekap di Pilkada, Ini Sederet Polekmiknya

8 jam lalu

Hakim MK Soroti Potensi Masalah Sirekap di Pilkada, Ini Sederet Polekmiknya

Hakim MK Arief Hidayat mewanti-wanti KPU soal permasalahan Sirekap di pilkada 2024. Arief mencontohkan Sirekap juga sempat menjadi polemik dalam sengketa pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

MK Bacakan Putusan Dismissal Sengketa Pileg pada 21-22 Mei

19 jam lalu

MK Bacakan Putusan Dismissal Sengketa Pileg pada 21-22 Mei

MK akan memberi tahu kelengkapan tambahan yang dibutuhkan dari pemohon jika perkara mereka lanjut ke pembuktian berikutnya setelah dismissal.

Baca Selengkapnya

Ketua MK Kritik Dokumen KPU Kurang Rapi di Sidang Sengketa Pileg 2024

23 jam lalu

Ketua MK Kritik Dokumen KPU Kurang Rapi di Sidang Sengketa Pileg 2024

Ketua MK itu berujar para kuasa hukum KPU juga harus memperhatikan aspek estetika dokumen, selain soal substansi.

Baca Selengkapnya

Mahfud Md: Pilpres 2024 Secara Hukum Sudah Selesai, tapi Secara Politik Belum

1 hari lalu

Mahfud Md: Pilpres 2024 Secara Hukum Sudah Selesai, tapi Secara Politik Belum

Mahfud Md mengatakan Pilpres 2024 secara hukum konstitusi sudah selesai, tapi secara politik belum karena masih banyak yang bisa dilakukan.

Baca Selengkapnya

Hakim MK Beri Catatan Soal Sirekap Menjelang Pilkada Serentak: Memang Tidak Bisa Digunakan

1 hari lalu

Hakim MK Beri Catatan Soal Sirekap Menjelang Pilkada Serentak: Memang Tidak Bisa Digunakan

Hakim MK kembali menyinggung soal Sirekap yang digunakan dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya

Jokowi Pastikan Pilkada 2024 sesuai Jadwal, Berikut Tahapan dan Jadwal Lengkapnya

1 hari lalu

Jokowi Pastikan Pilkada 2024 sesuai Jadwal, Berikut Tahapan dan Jadwal Lengkapnya

Presiden Jokowi mengatakan tidak ada pengajuan dari pemerintah untuk percepatan Pilkada 2024. Berikut tahapan dan jadwal lengkap Pilkada serentak 2024

Baca Selengkapnya

Mahfud Md: Pola Kecurangan Pemilu Sudah Berubah, Kini Kembali Melibatkan Negara

1 hari lalu

Mahfud Md: Pola Kecurangan Pemilu Sudah Berubah, Kini Kembali Melibatkan Negara

Mahfud Md menyebut curangan pemilu saat ini bentuknya mirip dengan pemilu yang belangsung era Orde Baru, karena pemenang telah ditentukan.

Baca Selengkapnya

Daftar Pemilihan Gubernur yang Digelar pada Pilkada 2024, Mengapa Yogyakarta Tak Termasuk?

1 hari lalu

Daftar Pemilihan Gubernur yang Digelar pada Pilkada 2024, Mengapa Yogyakarta Tak Termasuk?

Pilkada 2024 akan dilaksanakan pada November 2024 di semua provinsi di seluruh Indonesia, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta. Apa alasannya?

Baca Selengkapnya