Proyek itu dibagi dalam dua "sayap". Yang pertama, bagian barat, dimulai pada 1922 dengan menyodet Kali Ciliwung di Manggarai, tepat di selatan pemukiman para meneer di Menteng. Air dialihkan ke barat ke arah Dukuh Atas dan berbelok ke utara di Karet, melewati Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pluit dan berakhir di Teluk Jakarta. Saluran ini dikenal dengan Kanal Banjir Barat.
Sebelum sempat membuat sodetan pasangan di sebelah timur, Belanda keburu terusir dari bumi Nusantara.
Pemerintah Jakarta mulai menghidupkan kembali ide ini saat pemerintahan Gubernur Ali Sadikin pada 1973. Pemerintah menyusun rencana induk pengendalian banjir yang bertumpu pada dua terusan yang melingkari Ibu Kota.
Terusan itu menampung air dari 13 sungai yang melintasi Jakarta dan membuangnya langsung ke laut. Kanal Barat yang sudah ada diperluas, dan dilanjutkan dengan pembangunan saluran serupa di belahan timur. Namun rencana ini mangkrak.
Baru pada masa Gubernur Sutiyoso, 30 tahun kemudian, pembangunan Kanal Timur dimulai. Mega proyek ini dimulai di Kebon Nanas, Jakarta Timur. Membentang sejauh 23,5 kilometer, melewati 13 kelurahan dan berujung di Marunda, Jakarta Utara. Nilainya Rp 4,9 triliun. Hampir separuhnya untuk membebaskan 405,28 hektare lahan warga.
Berbagai masalah menghalangi laju pembangunan kanal, terutama sengketa kepemilikan dan ganti rugi lahan. Termasuk dalam Program 100 Hari Pemerintahan Yudhoyono-Boediono, Kanal Timur mulai beroperasi di hari terakhir 2009, hampir tujuh tahun sejak pengerukan pertama.
Reza