TEMPO Interaktif, Jakarta - Koordinator bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Karunia Asih Rahayu mengatakan, tarif berlangganan yang relatif murah justru membuat masyarakat beralih pada kendaraan pribadi. "Tarif ini relatif murah, untuk motor Rp 35.000 dan Rp 75.000 pertahun. Masyarakat akan berbondong-bondong menggunakan kendaraan pribadi, sudah pasti Jakarta akan tambah macet," ujarnya dalam diskusi Perlindungan Konsumen atas Jasa Perparkiran, di Hotel Ambahara, Jakarta Selatan, Rabu (22/12).
Ketua Institut Studi Transportasi, Darmaningtyas menambahkan rencana tersebut juga dapat memicu konfllik horizontal di msayarakat dari juru parkir dengan pemilik parkir. Dengan berlangganan, masyarakat tidak perlu lagi membayar tarif, padahal hal tersebut merupakan sumber pendapatan untuk juru parkir. "Parkir mungkin dilihat sebagai fasilitas, tapi juga instrumen mendapatkan uang," jelasnya.
Penolakan juga dilontarkan Kepala Sub Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Yakub Dedy Karyawan. Menurutnya wacana pembayaran parkir berlangganan yang sedianya dibayarkan pertahun saat mengurus perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), PKB dan BBNKB tidak bisa dilakukan. "Antara retribusi dan pajak itu berbeda, tidak bisa dipaksakan untuk dibayar bersama. Samsat tidak bisa mengurus parkir berlangganan," tambahnya.
Sementara itu Manager Perencanaan Unit Pelaksana Tugas (UPT) Parkir DKI, Syaefudin Zuhri menilai wacana parkir berlangganan dibutuhkan untuk mengurangi kebocoran retribusi parkir yang selama ini terjadi. Pemasukan tersebut nantinya akan digunakan untuk membangun gedung parkir yang dibutuhkan di Jakarta.
Dengan konsep baru ini diperkirakan pendapatan parkir bisa meningkat hingga Rp 224 miliar. Padahal saat ini pendapatan retribusi parkir untuk DKI Jakarta ditargetkan hanya mencapai Rp 19 miliar.
VENNIE MELYANI