Presiden Joko Widodo didampingi (Ki-Ka) Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Menteri ESDM Sudirman Said, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menko Perekonomian Sofyan Jalil mengumumkan turunnya harga BBM di halaman Istana, Jakarta, 16 Januari 2015. Harga baru ini akan berlaku pada 19 Januari 2015. TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Rudy Thehamihardja menilai meski pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, pengusaha angkutan umum tak perlu ikut memangkas tarif yang sudah berlaku. “Memangnya kalau harga bensin atau solar turun, harga-harga yang lain ikut turun?” ujarnya kepada Tempo, Jumat, 16 Januari 2015.
Mulai Senin, 19 Januari 2015, harga BBM bersubsidi jenis premium turun dari Rp 7.600 menjadi Rp 6.600 per liter. Sedangkan harga solar yang semula Rp 7.250 diturunkan menjadi Rp 6.400 per liter. (Baca: Harga Premium di Jawa Rp 6.700, Bukan Rp 6.600)
Rudy mengatakan, penurunan harga yang diumumkan hari ini tidak ada bedanya dengan harga BBM yang berlaku di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Waktu itu, pengusaha angkutan umum tidak dibolehkan menaikkan tarif karena harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan selama 2 tahun.” Padahal katanya, selama itu terjadi inflasi lebih dari 10 persen. “Inflasi naik tapi tarif tidak boleh naik, pengusaha pasti terpukul.” (Baca: Harga BBM Cepat Berubah, Organda Malah Bingung)
Karena itu, kata dia, meskipun harga BBM kembali ke harga lama, bukan berarti harga-harga komponen lain seperti ban, oli, dan onderdil akan menyusul turun. “Jangan lupa, banyak onderdil kendaraan itu mengikuti nilai dolar.” Jadi, kata dia, soal tarif angkutan umum tidak bisa dipandang linier dengan harga BBM bersubsidi. “Dihitung juga tingkat inflasi dan nilai tukar uang.” (Baca juga: Jokowi: Harga BBM Turun, Bahan Pokok Harus Murah)