Para seniman melakukan unjuk rasa `Ngaben Kebudayaan` untuk menolak penyerahan Taman Ismail Marzuki kepada Unit Pengelola Teknis bentukan Pemprov DKI, Cikini, Jakarta, 6 November 2015. TEMPO/LUHUR TRI PAMBUDI
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Seniman Jakarta (MSJ) menolak keras rencana Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengalihkan pengelolaan Taman Ismail Marzuki (TIM) dari Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (BP-PKJ) ke tangan unit pengelola teknis (UPT).
Para seniman menilai pendekatan UPT ini berbasis pada kekuasaan yang birokratis dan materialistik berbeda dengan pendekatan BP-PKJ yang berupa pelayanan.
Menurut Radhar, seniman menolak UPT karena struktur dan birokasinya merugikan aktivitas seniman. Misalnya, UPT dikelola pegawai negeri yang tidak punya latar belakang kebudayaan dan kesenian. Selain itu, jam kerja mereka dibatasi sampai pukul 16.00, sedangkan kegiatan kesenian sering diadakan malam hari.
Lalu, birokasi UPT dinilai materialistik karena seniman hanya dianggap “penyewa” fasilitas, bukan kelompok yang menghidupi kegiatan kesenian. Maka, seniman akan dikenakan biaya mulai dari perizinan, pemasangan poster, sampai pementasan.
Radhar juga menyesalkan Ahok--panggilan Basuki--yang enggan membalas surat protes atau pun berdialog dengan para seniman.
“Dia mau berdialog dengan orang pinggir kali, dia mau berdialog dengan orang Bantargebang, tapi dia enggak mau berdialog dengan seniman, tapi malah bicara lewat media. Memangnya kami ini dianggap apa?” ungkap Radhar.
Dalam pernyataannya, Ahok menjelaskan bahwa dibentuknya UPT berdasarkan peraturan terbaru Kementerian Dalam Negeri yang tidak memperbolehkan lagi memberi hibah tiga tahun berturut-turut.
Karena itu, perlu dibentuk UPT agar kegiatan kesenian di TIM dapat menerima sokongan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).