Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menyerahkan secara simbolis kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan di gedung BPJS Ketenagakerjaan Pusat, Jakarta Selatan, 17 April 2016. TEMPO/Friski Riana
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menuding ada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang sengaja menggelapkan iuran yang wajib dibayar oleh Pemerintah Provinsi untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
"Itu ada masalah dari SKPD sengaja atau tidak saya engga tahu. Makanya saya bilang di sini halus mainnya," kata Ahok di Balai Kota, Jakarta, Kamis, 11 Agustus2016.
Ahok menuturkan dirinya selalu mewanti-wanti kepada SKPD terkait tidak hanya menyiapkan gaji bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan tenaga honorer, melainkan juga menganggarkan iuran BPJS. "Padahal kami sudah bilangin, kamu anggarin dong bayar BPJS jangan cuma terima gaji, dia enggak anggarin," kata dia.
Pemerintah DKI Jakarta mengambil dari anggaran satu tahun iuran BPJS untuk membayar tunggakannya dalam enam bulan terakhir. "Makanya (tunggakan) enam bulan ini, kami pakai duit yang setahun (iuran). Dipakai dulu enam bulan," kata dia.
Menurut Ahok, anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) DKI Jakarta dipakai terlebih dahulu hingga APBD Perubahan selesai dibahas oleh Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. "Selain masuk Juli-Agustus, ya mentok. Ini memang rada halus (mainnya) di sini," kata Ahok.
Tunggakan iuran BPJS oleh beberapa pemerintah daerah di Indonesia diungkapkan oleh Direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antar-lembaga BPJS Bayu Wahyudi. Padahal, pemerintah daerah wajib membayar iuran itu selaku pemberi kerja pegawai negeri sipil dan honorer yang bekerja di lembaga negara daerah.
Setidaknya ada 76 pemerintah daerah yang baru mencicil dan lima pemerintah daerah yang belum membayar iurannya sama sekali. Dalam peraturan BPJS, setiap karyawan diwajibkan membayar iuran sebesar lima persen dari gaji yang diterima.
Kewajiban tersebut ditanggung oleh pribadi sebesar dua persen, sementara tiga persen sisanya dibayarkan oleh pemerintah daerah. Pembayaran iuran tiga persen inilah yang justru macet. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tercatat menunggak mencapai Rp24 miliar.