TEMPO.CO, Jakarta - Empat drum berisi kerang hijau berjejer di atas tungku yang membara. Setengah jam air telah mendidih, asap mengepul, dan cangkang kerang hijau telah terbuka. "Kalau direbus biar mudah ngupasnya," kata Dewi Yunita, 29 tahun, warga RT 01 RW 04 Kelurahan Kamal Muara, Jakarta Utara, saat ditemui pada Selasa, 23 Mei 2017.
Drum itu kemudian diangkat dan ditumpahkan di lantai beratap terpal bekas. Kerang hijau berserakan. Di tempat itu sekitar 20 perempuan pengupas kerang sudah berjejer. Pekerjaan ini juga dilakukan oleh Dewi dan perempuan lain di tempat itu. Mereka sudah puluhan tahun menjadi nelayan kerang hijau.
Baca: Anies Baswedan: Reklamasi Pantai Jakarta untuk Fasilitas Publik
Kata dia, sejak ada reklamasi Teluk Jakarta, produksi kerang hijau saat ini mulai menurun. Sebelumnya ia dapat mengupas belasan kilogram kerang per hari. Setiap kilogram dihargai Rp 2.500 oleh pemilik kelompok bisnis pengolahan kerang hijau. Kata Dewi, pendapatannya sebagai pengupas kerang hanya Rp 25 ribu per hari.
Riyatman, 40 tahun, nelayan bagan atau penangkap ikan kecil menggunakan waring mengaku merugi karena digusur pengembang. Ia sebelumnya memiliki budidaya kerang hijau dan bagan di kawasan perairan Pulau A dan B, Teluk Jakarta. Namun tahun lalu, pihak perusahaan menggusurnya tanpa kompensasi.
"Padahal di Pulau A dan B itu adalah tempat bertelur ikan, tapi kami digusur, pemerintah tidak peduli," ucap dia saat ditemui Tempo pada hari yang sama. Perusahaan beralasan perairan Pulau A dan B akan diuruk reklamasi. Rencananya pulau tersebut akan dibangun gedung.
Pemerintah DKI Jakarta sebelumnya melaporkan Pulau A dan B akan dibangun oleh pengembang PT Kapuk Naga Indah. Sampai saat ini mereka belum diperbolehkan melakukan reklamasi. Pulau A dan B berada tepat di samping Pulau C dan D. Pulau itu berada perbatasan dengan Tangerang, Jakarta, Pulau Bidadari, Kahyangan, dan Onrus.
Kepala Seksi Kawasan Strategis Nasional Direltorat Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Suraji, saat inspeksi bersama Tempo di sejumlah kawasan pesisir Jakarta, memastikan bahwa pengembang reklamasi Pulau A dan B melanggar aturan.
KKP menetapkan Muara Gembong hingga Pulau Bidadari sebagai kawasan konservasi dan cagar satwa. Tempat yang saat ini digunakan 17 pulau reklamasi adalah kawasan tangkap dan budidaya ikan.
"Kalau pulau yang sudah telanjur dibangun harus begini (menaati aturan sesuai moratorium tahun lalu)," kata Suraji. "Sedangkan pulau reklamasi yang belum dibangun sebaiknya tidak dilakukan," ujar Suraji.
Intinya, KKP menolak adanya reklamasi di kawasan Teluk Jakarta. Suraji juga mengetahui keputusan Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, yang ngotot tetap melanjutkan reklamasi.
Menurut Suraji, sebaiknya pemerintah mengacu dan dapat adu data. "Kalau KKP dan KLHK sudah jelas (menolak), kalau tetap dilanjutkan berarti itu kebijakan bukan peraturan," kata Suraji.
Saat ini KKP juga sedang membuat draft rancangan Peraturan Presiden tentang Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jabodetabek Puncak Cianjur (Punjur). Pemerintah menyusun kajian zonasi tata ruang dari area darat hingga laut Teluk Jakarta.
Kawasan yang diatur mulai dari alur laut kapal, konservasi, perencanaan ruang publik, dan kawasan strategis tertentu."Saat ini draft Perpres itu sudah selesai disusun, kami sekarang validasi secara sosial ekonomi di lapangan," kata Suraji.
Baca juga: Ditantang Adu Data Reklamasi oleh Amin Rais, Luhut Menjawab..
Suraji optimistis Perpres itu dapat diteken presiden pada September mendatang. Nantinya rancangan Peraturan Daerah tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWPK) harus mengikuti dan sejalan dengan perpres tersebut.
AVIT HIDAYAT