Lita Anggraini: Menjala Pekerja Domestik Supaya Aktif Bersuara
Editor
Philipus Parera
Jumat, 23 Juni 2017 23:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Berawal dari minat mengkaji isu Hak Asasi Manusia, feminisme, dan perempuan, pada 1989 Lita Anggraini dan sejumlah kawannya mendirikan Forum Diskusi Perempuan Yogya. Anggotanya sesama mahasiswa Universitas Gajah Mada dan sejumlah aktivis perempuan.
Mereka mengadvokasi hak buruh, petani pemilik tanah, tahanan politik. Tapi kemudian memutuskan untuk berfokus pada isu perempuan pekerja domestik pasca kekerasan terhadap salah satu pembantu rumah tangga (PRT) bernama Kamiatun, di Yogyakarta. “Kami pikir ini masalah besar tapi tak ada pihak yang peduli,” tutur perempuan kelahiran Semarang, 22 Oktober 1969 tersebut di kantor Jala PRT, Kalibata Utara, Sabtu lalu.
Tahun 1992 kelompoknya mulai mengorganisasi para pembantu rumah tangga di kawasan Gunung Kidul. Dua tahun setelah itu mereka membina kelompok PRT di Yogyakarta.
Lita, demikian dia disapa, turut mendirikan LSM yang juga menyuarakan hak PRT, Rumpun Tjoet Njak Dien di Yogyakarta. Memasuki 2004, Jaringan Advokasi Nasional PRT atau JALA PRT resmi dibentuk, merupakan koalisi dari 26 lembaga swadaya masyarakat.
Di Jakarta Selatan, ada Sapu Lidi yang merupakan jaringan Jala PRT. Kini sudah beranggotakan sekitar 1400 orang. Jejaring Sapu Lidi terus meluas dan sudah tersebar di beberapa kota di Jakarta. Jaringan ini melakukan pengorganisasian dan memberikan pendidikan alternatif kepada para PRT.
Ada banyak jenis pelatihan yang disediakan JALA PRT untuk meningkatkan kapasitas para anggotanya. Di antaranya pelatihan bahasa Inggris dan komputer. Juga ada pelatihan dasar-dasar berorganisasi, seperti cara melakukan advokasi, kampanye menggunakan berbagai media, negosiasi, mengelola konflik, serta merekrut dan merawat anggota dalam kelompok.
Targetnya, pada PRT harus bisa mengembangkan kapasitasnya dan bersuara untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai pekerja.
Kini Lita berjuang untuk menggolkan draft Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT yang sejak 13 tahun lalu belum disahkan. Tanpa UU itu, PRT tak diakui dan sama sekali tak dilindungi oleh negara. “Pada 2010 sampai 2013 sempat dibahas sampai dewan melakukan studi berbiaya mahal ke Afrika Selatan, Argentina, sudah dilakukan uji publik, namun saat draft sampai di Baleg dihentikan, mandeg sampai sekarang,” ujar Lita.
AISHA SHAIDRA