TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban menuntut Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI membagikan naskah asli Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja kepada publik.
"Biar masyarakat jangan ribut, tolonglah di-share yang asli itu," kata Elly di sela-sela unjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin, 12 Oktober 2020.
Menurut Elly, naskah asli UU Cipta Kerja diperlukan agar bisa dikritisi oleh masyarakat, termasuk kalangan buruh. Selain itu, KSBSI juga berencana mengajukan judicial review atas undang-undang yang telah disahkan oleh DPR RI para Senin, 5 Oktober lalu itu.
Elly berujar, sejauh ini KSBSI melihat ada empat topik yang bermasalah dalam UU Cipta Kerja. "Yaitu terkait upah sektoral, kontrak yang diperpanjang, alih daya yang dibuka lebih luas, dan juga pesangon," kata dia.
Sembari menyiapkan rencana uji materi, kata Elly, KSBSI juga meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu guna membatalkan UU Cipta Kerja. Menurut dia, buruh dari KSBSI akan terus melakukan unjuk rasa lima hari berturut-turut, yaitu dari 12 - 16 Oktober.
Naskah final Omnibus Law UU Cipta Kerja belakangan menjadi polemik. Sejumlah politikus Senayan yang hadir dalam rapat paripurna mengaku belum menerima salinan aturan itu saat UU Cipta Kerja diketok. Lazimnya, draf final diberikan ketika anggota menandatangani daftar hadir sebelum masuk ke ruang sidang.
"Undang-undang ini seperti operasi caesar, terbit sebelum waktunya," ujar anggota Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 10 Oktober 2020.
Dalam rapat yang juga digelar daring itu, naskah final pun tidak dibagikan secara online. Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, mengatakan dokumen undang-undang masih dirapikan untuk menghindari salah ketik. Ia mengklaim penyuntingan konten UU setelah pengesahan di rapat paripurna bukan suatu pelanggaran.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati menyebutkan tindakan merapikan naskah UU setelah pengesahan mengindikasikan adanya cacat formil. Menurut dia, penyuntingan sekecil apa pun berpotensi mengubah makna peraturan.
"Skandal terparah dan terbesar dalam pembentukan undang-undang," ujar Asfinawati.
M YUSUF MANURUNG | MAJALAH TEMPO