TEMPO.CO, Pangkalpinang - Kuasa hukum tersangka kasus komoditas timah Tamron Tamsil, Jhohan Adhi Ferdian, mengatakan penyitaan perusahaan perkebunan kelapa sawit CV Mutiara Alam Lestari (MAL) milik kliennya terkesan dipaksakan oleh penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung. Jhohan menyebutkan bahwa CV MAL sudah berdiri jauh sebelum kasus tata niaga komoditas ditangani Kejagung.
CV MAL, kata dia, berdiri pada 2007. Sedangkan kasus timah dilakukan penyidikan pada medio 2015 hingga 2022. "CV Mutiara Alam Lestari yang disita pendiriannya 18 April 2007 dan beroperasional secara penuh pada 2011. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan kasus tata niaga timah di 2015-2022 yang sedang disidik oleh penyidik Kejagung," ujar Jhohan di Pangkalpinang, Rabu, 5 Juni 2024.
Jhohan menuturkan kinerja penyidik Kejagung seperti raup abu dan seolah-olah apa pun yang berbau dan berhubungan dengan Tamron Tamsil harus disita. Padahal, kata dia, banyak masyarakat yang selama ini bergantung dengan perusahaan Tamron.
"Kerja raup abu penyidik ini mengakibatkan terganggunya dana operasional, gaji, pesangon dan ada lebih 600 orang yang kehilangan pekerjaan akibat PHK. Selain itu ribuan petani sawit di Kabupaten Bangka Tengah dan Bangka Selatan kesusahan menjual hasil panen imbas dari penyitaan ini," ujar dia.
Kejanggalan lain, kata Jhohan, juga terkait dengan nilai kerugian negara yang diumumkan Kejagung mencapai Rp 300 triliun sangat tidak masuk akal dan terkesan hanya untuk menyelamatkan muka sendiri. "Jika nilai kerusakan ekologis termasuk nilai kerugian negara, saya jawab ini bisa kalau dipaksakan. Jadi terkesan Kejagung malu muka, lebih baik dimasukkan saja nilai ekologis dalam kerugian negara biar terkesan wah dan heboh," ujar dia.
Menurut Johan, Pasal 1 ayat 22 Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah menyebutkan bahwa yang termasuk kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang nyata serta pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. "Nilai kerusakan ekologis bukan dihitung dari kerusakan yang diakibatkan dalam kasus timah yakni tahun 2025-2022. Tetapi dihitung berdasarkan kerusakan saat ini. Padahal kerusakan lingkungan sudah terjadi sejak penambangan dilakukan zaman kerajaan Sriwijaya. Ini sangat tidak fair," ujar dia.
Johan menyampaikan jika Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memasukkan kerusakan ekologis bagian dari kerusakan negara, seharusnya ada penghitungan juga terkait nilai jaminan reklamasi yang disetorkan kepada negara. "Selain itu ada juga pajak, royalti hingga iuran lain yang menjadi kewajiban dan telah diterima negara. Jika pun nilai kerusakan ekologis dihitung menjadi bagian kerugian negara, seharusnya ke-22 tersangka hanya bertanggung jawab terhadap kerusakan ekologis pada medio 2015 hingga 2022 saja," ujar dia.
Johan mengatakan pengumuman nilai kerugian negara oleh Kejagung yang mencapai Rp 300 triliun justru membuka fakta bahwa kerugian negara secara rill hanya Rp 29,4 triliun. Kerugian itu yang terdiri atas harga sewa smelter oleh PT Timah Rp 2,2 triliun dan pembayaran bijih timah ilegal ke mitra tambang Rp 26,6 triliun.
"Ini kan jauh dari Rp 271 triliun yang digaung-gaungkan itu. Kami menilai ini sangat dipaksakan karena penyidik terjebak pada nilai yang sejak awal kasus tata niaga komoditas timah dimulai terlanjur mereka siarkan sendiri," ujar dia.
Pilihan Editor: SYL Minta Hakim Perintahkan KPK Buka Blokir Rekeningnya dengan Alasan Kemanusiaan