TEMPO Interaktif, Jakarta:- Penipuan melalui pesan pendek (SMS) dengan mengatas namakan 'Mama Minta Pulsa' oleh narapidana Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara ternyata bisa menyedot duit korban hingga miliaran rupiah. Sebab, komplotan ini mengaku sudah sering melakukan penipuan serupa dalam lima tahun terakhir.
"Prediksi penyidik, keuntungan yang diraup di atas Rp 1 miliar," kata mantan Kepala Sub-Direktorat Cyber Crime Direktorat Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Hermawan, Rabu 5 Oktober 2011.
Polda mengungkap aksi penipuan lewat SMS yang dilakukan oleh enam narapidana LP Tanjung Gusta pada akhir September lalu. Para tersangka mengaku menggunakan berbagai modus untuk menipu korbannya. "Seperti mengatakan satu anggota keluarga korban masuk rumah sakit, berurusan dengan polisi, atau menawarkan undian," kata Hermawan.
Sejauh ini baru satu orang yang melapor menjadi korban, yakni Sarabjit Kaur, 66 tahun. Warga Medan ini mengaku tertipu hingga Rp 126 juta pada 29 Agustus lalu. Tersangka mengaku sebagai anak korban dan meminta ditransfer sejumlah uang dengan alasan sedang terjerat kasus narkoba.
Polisi menduga jumlah korban komplotan ini bisa ratusan orang. Menurut Hermawan, sebagian besar korban yang tertipu mengalami kerugian dalam jumlah sedikit, antara Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. "Dengan ekspose kasus ini, kami harap semakin banyak korban yang melapor," ujarnya.
Komplotan ini digulung berkat sebuah alat pelacak sinyal senilai Rp 15 miliar milik Polda. "Alat itu hanya dimiliki Polda Metro Jaya dan Mabes Polri," kata Hermawan.
Hermawan enggan menyebutkan nama alat canggih tersebut. "Soalnya alat itu dipakai untuk melacak teroris juga," kata dia.
Dengan alat itu, ujar Hermawan, polisi melacak lokasi nomor yang digunakan pelaku untuk menelepon Surabjit. Petunjuk yang ada kemudian menuntun polisi ke arah yang tak diduga, yakni Penjara Tanjung Gusta.
Penyidik Polda sempat kehilangan jejak pelaku karena sinyal penunjuk lokasi dari alat pelacak tersebut tak mampu menembus konstruksi bangunan penjara. "Itu kan dilapisi baja," ujarnya.
Menurut kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, polisi dapat menggunakan cara lebih mudah untuk melacak penipu lewat SMS ketimbang mengandalkan alat pelacak senilai Rp 15 miliar. Polisi, kata dia, bisa bekerja sama dengan perusahaan penyedia layanan telepon. "Kalau polisi perlu, provider kan tidak bisa menolak," ujar Adrianus.
Namun dia mengatakan meminta kerja sama penyedia layanan telepon bukannya tanpa kendala. Apalagi jika kasusnya kecil. "Kadang mereka bantu jika sempat saja."
Adrianus mengatakan masuknya telepon seluler ke dalam penjara menunjukkan bahwa pengamanan di penjara tak maksimal. "Itu adalah indikasi bolongnya sistem keamanan lembaga pemasyarakatan," kata dia.
Adrianus mengatakan penipuan dengan modus SMS akan makin berkurang karena, seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tahu bahwa SMS tersebut tipuan. "Paling lama pelaku bisa meraup keuntungan hanya satu pekan. Setelah itu turun jumlah korbannya."
l CORNILA DESYANA | ANANDA BADUDU | SAPTO Y