TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum menuntut Hercules Rozario Marshal dengan hukuman penjara selama enam bulan. JPU Fajar Arisetiawan mengatakan, laki-laki asal Timor itu terbukti melakukan tindak kekerasan secara bersama-sama. "Terdakwa secara sah meyakinkan melanggar pasal 214 KUHP tentang kekerasan bersama dua orang atau lebih," ujarnya di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin, 24 Juni 2013.
Menurut Fajar, berdasarkan keterangan saksi, Hercules terbukti melakukan upaya pembubaran apel polisi yang digelar di ruko Rich Place, Srengseng, Jakarta Barat. Akibatnya, apel tersebut tidak tuntas dan langsung bubar karena tindakan yang dilakukan Hercules. Saat itu, Hercules dalam keadaan sehat dan tidak dalam tekanan apa pun.
Fajar juga menyebut Hercules berteriak ke polisi agar segera membubarkan diri karena merasa terganggu dengan apel tersebut. Teriakan berkali-kali itu membuat puluhan anak buah Hercules ikut terprovokasi sehingga menimbulkan kericuhan. "Hercules juga meneriaki polisi dengan nada mengancam dengan kata 'Saya veteran, sekali pukul mati kalian'," kata Fajar.
Dia melanjutkan, polisi telah berusaha menenangkan emosi Hercules. Tapi gagal. Malah terdakwa memukul mobil Toyota Avanza milik anggota polisi hingga penyok. "Maka ancaman kekerasan yang dilakukan dua orang atau lebih juga sudah memenuhi," katanya.
Hal lain yang memberatkan, Hercules dinilai telah melakukan tindakan yang merugikan warga. Akibatnya, muncul keresahan di masyarakat. Sedangkan yang meringankan, terdakwa dinilai bersikap sopan dan masih memiliki tanggungan keluarga.
Selama persidangan, Hercules yang menggunakan baju koko berwarna merah dan celana panjang hitam, tampak tenang. Dia tampak serius mendengarkan tuntutan yang dibacakan jaksa. Sesekali dia tampak menunduk dan tersenyum.
Bantah Lakukan Aksi Premanisme terhadap PT CNI, Warga Wolo: Kami Minta Pertanggungjawaban Perusahaan
23 Juni 2023
Bantah Lakukan Aksi Premanisme terhadap PT CNI, Warga Wolo: Kami Minta Pertanggungjawaban Perusahaan
Pemuda dan mahasiswa Wolo mengecam PT Ceria Nugraha Indotama (CNI) yang menganggap aksi ratusan warga Desa Muara Lapao-pao, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, sebagai aksi premanisme.