TEMPO Interaktif,
Bekasi:Kontroversi pembangunan proyek Blue Oasis City (BOC) memasuki babak baru. Rabu (27/10), 25 orang warga Karang Kitri, Margahayu, Bekasi Timur, mendemo kantor DPRD Kota Bekasi. Mereka menuntut ganti rugi lahan seluas 20 hektare di kawasan rawa Karang Kitri yang kini sedang dibangun pusat perbelanjaan, apartement dan taman wisata air BOC. Dalam aksi warga, terungkap bahwa sejak 1983, warga sudah memiliki Surat Pernyataan Garap (SPG) yang ditandatangani Lurah Margahayu, Achmad Sayuti, pada 20 Juli 1983. "Kami sudah menggarap tanah ini dari dulu kira-kira sejak 1960, Saudin, 43 tahun, juru bicara warga yang memiliki tanah garapan seluas 4.500 meter atas nama ayahnya, Kardina.Namun, hak garap itu raib sejak PT Rekapastika Asri dan PT Triputri Natatama mengambil alih lahan Karang Kitri pada 1996. Kedua perusahaan ini mendapatkan hak pengelolaan lahan di daerah tersebut setelah mengikat kerjasama bisnis dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi (sebelum pemekaran Bekasi). Pengambilan lahan dilakukan kedua perusahaan tanpa persetujuan warga. Pengusaha langsung membenteng sekeliling lahan dan menggusur sawah yang hampir panen dengan kendaraan buldozer. "Kami ini tidak berdaya karena pekerjaan mereka dijaga aparat keamanan, sampai panen kami pun hilang," kata warga Rt 01/08, Margahayu itu. Selama ini, pemerintah dan perusahaan tidak memberi ganti rugi kepada warga. Padahal surat hak garap tidak diperoleh gratis. Surat itu ditebus dengan uang seribu rupiah per meter persegi. Setahun kemudian, keinginan warga agar dapat memiliki tanah garapan itu mulai diperhatikan pemerintah. Warga pada 1996 silam, sempat berkumpul dengan difasilitasi oleh lurah setempat. Dari pertemuan itu, warga ditawari ganti-rugi lahan Rp 2.000 per meter persegi. Namun, warga yang sudah merasa tanah itu menjadi hak garap, tawaran itupun ditolak mentah-mentah. "Kami sepakat menolak tawaran itu,"katanya.Sebelum meminta bantuan Dewan, warga sudah mendatangi beberapa instansi seperti Komnas HAM di Jakarta. Masalah ini juga sudah mereka sampaikan kepada Wakil Presiden RI. Tapi sampai kini, warga belum mendapatkan ganti-rugi, baik dari pemerintah maupun pengusaha.Menanggapi surat keprihatinan dari Komnas Ham yang disampaikan ke warga itu, Wali Kota Bekasi, Akhmad Zurfaih, dengan enteng mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Sebab, hak atas tanah itu adalah milik Pemerintah Kabupaten Bekasi yang belum diserahkan kepada Pemerintah kota.Selain menyampaikan surat ke sejumlah pihak, warga juga sempat memberkan kepada pengembang proyek. Namun, pihak pengembang menyatakan ganti-rugi lahan warga sudah diserahkan kepada pemerintah daerah."Kita menuntut hak kita, supaya pemerintah daerah secara sadar mau memberikan ganti-rugi kepada warga. Selain itu, kita minta agar warga dipertemukan dengan Pemkot, Pemkab dan pihak pengembang dalam satu tempat agar jelas duduk persoalannya sehingga tidak berlarut-larut seperti saat ini," ujar Saudin.Warga yang datang ke dewan itu ditemui lima anggota Dewan, salah seorang anggota Dewan yang menerima audiensi warga, Roy Achyar (FPG), berjanji akan menindaklanjuti laporan warga tersebut. Dewan segera membentuk Tim Rawa Karang Kitri yang terdiri dari beberapa orang anggota Fraksi untuk mengklarifikasi laporan itu.Menurut Roy, masalah itu merupakan kasus baru yang belum dia dengar sebelumnya. "Tapi Bapak-bapak harus memahami, sampai sekarang Komisi yang menangani masalah ini belum terbentuk,"kata Roy. Warga juga didampingi oleh Gatot dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengharapkan masalah ini tidak berlarut-larut lagi seperti sebelumnya. Tuntutan warga itu, kata Gatot, sangat wajar karena status tanah itu adalah tanah garapan murni yang tidak dimiliki oleh siapapun. "Sebenarnya warga berhak memiliki tanah itu karena sudah lama menggarapnya,"katanya. Salah seorang penggarap, H Syafei (68 tahun), mengungkapkan, sertifikat tanah yang dikeluarkan lurah pada tahun 1984 juga menimbulkan banyak masalah. Karena dari 20 hektare tanah, hanya tiga hektare yang terbagi dalam 105 lembar sertifikat. Pemegang sertifikat hak milik (SHM) ini pun tidak semuanya berasal dari penggarap. Menurut Saudin, hanya 32 orang warga penggarap lahan itu yang mendapatkan sertifikat hak garap. Sedangkan, pemegang sertifikat hak garap lainnya berasal dari orang yang tidak dikenal. Menurut Saudin, orang yang tidak dikenal itu termasuk kalangan keluarga pejabat dan pegawai pemerintah."Sertifikat yang dikeluarkan oleh pemerintah itu juga banyak menimbulkan masalah bagi kita. Ternyata, sebagian sertifikat ada yang tidak jelas dan tumpang tindih. Satu nomor sertifikat dimiliki oleh beberapa orang. Bahkan ada juga satu kepala keluarga yang memiliki lebih dari satu sertifikat tanah,"ujarnya.Saudin mencontohkan, ada sertifikat rumah yang alamatnya berada di rumah orang lain. Jumlah tanah yang tercantum dalam sertifikat juga tidak akurat. "Seharusnya 4.000 meter persegi tapi hanya tertulis 300 meter persegi," katanya. Dia menduga pembuatan SHM itu diwarnai dengan praktek KKN para pejabat pemerintah.
Siswanto