Pengunjung melintasi gerbang acara "Kaki Lima Night Market" yang berlangsung di sepanjang Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10). Acara ini diramaikan oleh 400 peserta usaha kecil dan menengah yang datang dari PKL binaan dan non-binaan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia tidak sepakat dengan ide Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang akan membatasi jumlah pedagang kaki lima. Ketua Umum Asosiasi, Ali Mahsun, mengatakan pembatasan PKL malah akan memunculkan problem baru.
"Jakarta tiap tahunnya selalu kedatangan pendatang baru dan mereka banyak yang memutuskan menjadi pekerja informal, seperti berjualan," kata Ali kepada Tempo, Kamis, 10 Oktober 2013.
Menurut Ali, seharusnya Jokowi berfokus saja untuk membina PKL. Ide pembatasan PKL ini muncul karena Jokowi melihat jumlah PKL di Jakarta sudah terlalu banyak. Padahal pekerja informal ini memiliki potensi untuk menopang ekonomi Jakarta. Sayang, keberadaannya juga kerap memunculkan kesemrawutan.
Idenya adalah Pemerintah DKI mendata jumlah PKL yang ada sekarang. Kemudian, mereka dibina dengan konsep yang lebih matang. Data tersebut akan lebih detail dengan mengklasifikasikan jenis dagangannya.
Ali mengaku sepakat jika idenya hanya sebatas pendataan dan pembinaan, karena sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 yang mengatur soal Penataan dan Pemberdayaan PKL.
Menurut Ali, selama ini pemerintah tidak pernah fokus dalam membina PKL. Hal inilah yang menjadikan para pelaku usaha ini terkesan semrawut. Padahal, Ali melanjutkan, jumlah PKL yang mencapai 350 ribu orang sangat strategis untuk menopang ekonomi Ibu Kota.
"Konsep penataan selama ini hanya sekedar dipindah dan memotong mata rantai penghasilan pedagang, hal semacam inilah yang salah," ujarnya. Pemerintah diminta lebih serius jika memang ingin menata dan membina PKL.