Ilustrasi kemacetan lalu lintas. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO, Jakarta -- Dinas Perhubungan Jakarta menilai kemacetan yang terjadi di Jakarta hampir setiap hari bukan hanya tanggung jawab pemerintah Jakarta saja. Pasalnya, kemacetan juga dipicu oleh banyaknya warga dari daerah penyangga yang datang ke Ibu Kota setiap harinya. "Pergerakan orang tidak hanya dari Jakarta, tapi juga di luar wilayah Jakarta," kata Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan, Syafrin Liputo, kepada Tempo di kantornya, Rabu, 6 November 2013.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melempar tanggung jawab kemacetan parah di Ibu Kota kepada Gubernur Jakarta Joko Widodo. Ini disampaikan SBY saat mendapat pertanyaan dan sindiran dari beberapa perdana menteri dari negara di Asia Tenggara dalam pertemuan East Asian Summit 2013.
Ia mengatakan, Jakarta masih tampak lengang pada pukul 06.00-07.00 pagi. Tetapi begitu banyak kendaraan pribadi maupun kendaraan umum yang mengantre masuk Ibu Kota pada pukul tersebut.
Artinya, kata Syafrin, upaya pemerintah Jakarta untuk mengatasi kemacetan seperti membangun 12 koridor busway tidak akan ada artinya karena pergerakan begitu massif di luar Jakarta.
Pihaknya pun berupaya menggandeng daerah penyangga untuk membuat Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB). Namun, itu pun belum membantu secara maksimal. Karena, kata Syafrin, masih terbatasnya armada yang disediakan untuk APTB. "Saat ini baru sembilan trayek yang berjalan. Itu pun jumlah kendaraannya masih sedikit," ujarnya.
Selain itu, ia juga berharap masyarakat luar Jakarta menggunakan commuter line yang disediakan PT KAI Commuter Jabodetabek. Namun, ternyata commuter line hanya mencakup tiga persen dari total warga yang datang ke Ibu Kota setiap hari. Sementara kendaraan bermotor yang masuk Jakarta bisa mencapai 1,9 juta per hari.
Aturan yang digelontorkan pemerintah pusat juga kadang menjadi hambatan untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Syafrin mencontohkan kebijakan low cost green car (LCGC). Pemerintah mendorong adanya mobil murah dengan meyakini jika banyak rakyat membeli mobil menandakan negara itu tergolong makmur. "Tapi kan kondisi di jalan berbeda," katanya.
Karena itu, menurut Syafrin, butuh komitmen dari pemerintah pusat dan daerah penyangga untuk menyelesaikan kemacetan di Jakarta. Seperti menaikkan rel yang ada di lintasan sebidang. "Kami sudah menyampaikan ini ke pusat. Semoga pusat segera mewujudkannya," katanya.