Karangan bunga tanda duka cita terpasang di depan mobil jenazah yang membawa almarhum AKBP Pamudji di rumah kediamannya, di Cijantung, Jakarta Timur (19/03). Wafatnya AKBP Pamudji diduga akibat penembakan saat piket malam di kantor pelayanan masyarakat Polda Metro Jaya. TEMPO/Dasril Roszandi
TEMPO.CO, Jakarta - Kriminolog Universitas Indonesia Erlangga Masdiana mengatakan konflik di dalam pekerjaan merupakan salah satu penyebab Brigadir Susanto menembak Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Pamudji. Konflik seperti ini biasanya terjadi antara atasan dan bawahan. "Biasanya dipicu oleh tuntutan bawahan yang harus loyal dengan atasan," kata Erlangga, Rabu, 19 Maret 2014. (Baca: Komandan Polisi Tewas Ditembak di Tempat Kerja)
Konflik tersebut, kata dia, biasanya berupa masalah komunikasi, hubungan pribadi, maupun struktur organisasi.
Sebelumnya, Kepala Detasemen Kepolisian Daerah Metro Jaya, AKBP Pamudji, tewas ditembak anak buahnya di ruang pelayanan masyarakat, Selasa malam, 18 Maret 2014. Pamudji ditembak dua kali pada saat sedang bertugas bersama anak buahnya.
Erlangga memaparkan masalah komunikasi dapat ditimbulkan lantaran adanya ketidakjelasan informasi maupun perintah yang disampaikan. Wujudnya berupa perintah yang tak mudah dipahami dan tidak konsisten.
Dia menuturkan pergantian pimpinan yang sering terjadi di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia menuntut anak buah harus menyesuaikan gaya kepemimpinan atasannya. Erlangga menduga ada gaya kepemimpinan Pamudji yang dianggap mengganggu oleh Susanto.
Kemungkinan lain, kata Erlangga, Brigadir Susanto memiliki agenda lain di luar tugasnya sebagai polisi. Akibatnya, kepentingan tertentu tersebut bertabrakan dengan tugas utama polisi. Selain itu, penyebab lain adalah adanya masalah pada pekerjaan polisi sendiri. "Penyebab seperti ini membuat polisi bingung memihak masyarakat atau pimpinan," kata Erlangga.