Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama melantik ribuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di Monas, Jakarta, 2 Januari 2015. Sebanyak 2000 PNS DKI Jakarta dilantik tersebut merupakan hasil Evaluasi dan rotasi PNS di pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Tempo/M IQBAL ICHSAN
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri dan banyak pihak mengritik besarnya belanja pegawai negeri sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi Jakarta senilai Rp 19,52 triliun. Dana itu berujung pada melonjaknya tunjangan kinerja daerah dan penghasilan pegawai secara fantastis.
Namun Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tidak mempedulikan hal itu. "Tunjangan tersebut sudah melalui perhitungan berdasarkan azas efisiensi," kata Ahok, sapaan Basuki, di Kementerian Dalam Negeri, Kamis, 2 April 2015.
Ahok menuturkan semula anggaran tunjangan pegawai disisipkan pada pos-pos belanja barang dan jasa. Hal ini terjadi di semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Dengan cara itu, ia berujar, nilai total belanja pegawai yang tertera dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah terlihat seolah-olah kecil.
Kini anggaran belanja barang tak bisa disisipkan hal serupa. Pemerintah DKI memperketat pengawasan pemberian nomor rekening pada tiap mata anggaran dalam sistem E-budgeting. Ahok mengatakan upaya penggelembungan nilai mata anggaran akan terekam dalam sistem E-budgeting.
Selain itu, ujar Ahok, nilai tunjangan kinerja daerah terlihat besar lantaran gabungan dari anggaran lima kota administrasi dan satu kabupaten. Hal ini berbeda dengan penyusunan anggaran provinsi lain yang terpisah dari pemerintahan kota atau kabupaten. "Provinsi lain berbeda penyusunannya," katanya berdalih.
Nilai tunjangan kinerja daerah merupakan salah satu hal yang disoroti Kementerian Dalam Negeri. Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek mengatakan nilai belanja pegawai Rp 19,52 triliun pada rancangan Peraturan Gubernur tentang APBD 2015 terlalu besar.