Pekerja di kawasan proyek Mass Rapid Transit (MRT) di dekat Patung Pemuda Membangun, kawasan bundaran air mancur Senayan, Jakarta, 26 Maret 2015. TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO , Jakarta: Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama tidak ragu menempuh cara paksaan jika pemilik lahan yang terkena proyek pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) bersikeras mempertahankan tanah mereka.
Menurut Ahok, panggilan akrab Basuki, langkah itu sesuai dengan undang-undang yang mengatur bahwa tanah yang tidak bisa dipindahkan posisinya dan dibutuhkan untuk kepentingan publik, maka pemerintah setempat berhak ambil alih. "Pemilik lahan juga tak mungkin kan pindahin tanah mereka," katanya kepada Tempo, Senin, 25 Mei 2015.
Dia optimistis dapat membebaskan semua lahan untuk pembangunan MRT pada tahun ini. Dia tak khawatir soal masyarakat yang masih tak mau menyerahkan lahannya. Menurutnya, dengan konsinyasi lewat pengadilan, masyarakat akan patuh.
Ahok menjelaskan, Pemerintah Provinsi Jakarta sebelumnya setuju penggunaan harga appraisal atau harga perkiraan penilai properti. Opsi ini dipilih karena pemerintah dan pemilik lahan tidak mencapai kesepakatan harga.
Namun, harga appraisal ini pun tak diterima masyarakat. "Ya kami akan lanjutkan ke pengadilan supaya cepat selesai." Selain itu, kata, Ahok dengan cara paksaan.
Direktur Konstruksi PT MRT, Muhammad Nasyir sebelumnya ketar-ketir karena lahan MRT tak kunjung dibebaskan. Dia mengatakan, lokasi lahan yang paling mendesak dibebaskan adalah jalur layang Lebak Bulus-Sisingamangaraja. Lahan itu berada di Jalan T.B. Simatupang dan Jalan Cipete Raya yang akan dibuat halte Stasiun Fatmawati dan Cipete Raya.
Sementara itu, bor MRT yang bakal digunakan untuk melubangi Jalan Sudirman sudah tiba di Jakarta. Bor ini akan mulai dirakit di bawah Patung Pemuda Senayan, Jakarta Pusat. Dari sini, bor berjalan ke arah utara menembus 10 meter di bawah Kanal Banjir Barat hingga sampai Bunderan Hotel Indonesia.