Relawan pegiat literasi melakukan aksi membaca buku diatas KRL saat aksi "keREADta", Jakarta, 22 April 2018. Kegiatan ini untuk memperingati hari buku sedunia. TEMPO/Muhammad Hidayat
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyampaikan momentum peringatan Hari Buku Sedunia perlu dijadikan spirit baru membudayakan membaca. Selain itu, menjadi pendorong bagi masyarakat untuk giat menulis karya-karya ramah anak.
“Hal ini penting karena kualitas peradaban bangsa ditentukan seberapa jauh kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Inilah kekayaan hakiki untuk menjadi bangsa yang besar dan ramah anak,” ujar Susanto kepada Tempo, Selasa, 24 April 2018.
Menurut Susanto, budaya membaca masyarakat Indonesia masih amat lemah, padahal jumlah penduduknya cukup besar sekitar 270 juta jiwa. “Berdasarkan studi Most Littered Nation in the World, minat baca masyarakat Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara” ucapnya.
Kondisi budaya baca yang lemah, kata Susanto, mempengaruhi budaya menulis masyarakat, termasuk menulis isu-isu anak. Padahal pada era 4.0 meniscayakan pola artificial intelligence dan dikenal sebagai era disruptive innovation. “Era ini harus mengubah mindset dari mental konsumen ke mental produsen,” tuturnya.
Susanto menambahkan, mengunggah karya tulisan, termasuk e-book, harus lebih banyak daripada mengunduh karya pihak lain. Isu anak harus menjadi perhatian pada era disruptive.
“Apalagi tren anak-anak rentan menjadi korban dunia digital cukup tinggi. Bahkan, awal tahun 2018, sejumlah kasus anak adiksi digital menjadi perhatian nasional,” kata Susanto.
KPAI mengakui literasi digital yang sehat kepada anak masih lemah. “Kondisi ini perlu menjadi perhatian semua pihak, termasuk para penulis, agar concern mengangkat isu-isu terkini sebagai media edukasi publik," ujar Susanto terkait dengan peringatan Hari Buku Sedunia tahun ini.