KPK Nilai HoA Anies dan Aetra Berpotensi Timbulkan Masalah Hukum
Reporter
Lani Diana Wijaya
Editor
Ninis Chairunnisa
Kamis, 16 Mei 2019 21:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti perjanjian head of agreement (HoA) pemerintah DKI Jakarta dengan PT Aetra Air Jakarta yang sudah ditandatangani Gubernur DKI Anies Baswedan. Juru bicara KPK Febri Diansyah menyatakan klausul dalam perjanjian tersebut berpotensi menimbulkan masalah hukum.
"Khususnya pemberian eksklusivitas kepada Aetra untuk mengelola air baku menjadi air bersih di DKI Jakarta. Klausul ini menunjukkan bahwa penghentian privatisasi penyediaan air bersih belum dilakukan sepenuhnya oleh Pemprov DKI," kata Febri seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 15 Mei 2019.
Baca: Soal Swastanisasi Air, KPK akan Kembali Bertemu dengan DKI
Febri mengingatkan agar klausul perjanjian pemerintah DKI dengan pihak swasta tidak melanggar aturan. Tak hanya itu, setiap poin HoA harus memberi keuntungan maksimum dalam aspek keuangan serta meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
KPK, kata Febri, juga menyoroti tiga poin lain. Salah satunya adalah faktor-faktor yang memunculkan klausul kontrak yang tidak mencerminkan kepentingan pemerintah. Poin selanjutnya, yaitu skenario penghentian swastanisasi air.
Poin terakhir sehubungan dengan bisnis proses penyediaan pelayanan air bersih dan mekanisme kontrol PAM Jaya terhadap kegiatan operator PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta.
Baca: Stop Swastanisasi Air, Anies: Palyja dan Aetra Tak Mampu
Karena itu, KPK akan menjadwalkan lagi pertemuan dengan pemerintah DKI. KPK hendak menggali kebijakan yang diambil terkait penghentian swastanisasi air bersih di Jakarta serta mengklarifikasi berakhirnya kontrak DKI dengan dua perusahaan itu pada 2023.
Pertemuan pertama KPK dan pemerintah DKI berlangsung pada Jumat, 10 Mei 2019. KPK menilai ada yang janggal dengan swastanisasi air dari 1998 sampai Desember 2016. Dari paparan pemda, diketahui BUMD PAM Jaya membukukan kerugian Rp 1,2 triliun, sementara laba swasta tercatat Rp 4,3 triliun.
"Laba yang diperoleh pihak swasta ini dinilai berbanding terbalik dengan kinerja, target coverage area penyediaan air bersih dan produksi air untuk DKI Jakarta tidak sesuai dengan yang diharapkan," kata Febri.
"Salah satu penyebab rendahnya pendapatan PAM Jaya dari kerjasama ini karena terdapat beberapa klausul dalam perjanjian kerja sama yang memberatkan pemerintah, di antaranya kesepakatan IRR (Internal Rate of Return) 22 persen dan kewajiban pemerintah membayar defisit (shortfall)," lanjut dia.
Anies sebelumnya memastikan, pemda bakal mengambil alih pengelolaan air bersih di Jakarta dari pihak swasta. Hal ini mengingat adanya keluhan warga yang merasakan penyaluran air bersih buruk. Bahkan, warga menganggap, air bersih tak lagi tersalurkan sejak pengelolaan dipegang swasta.