Jawaban JPU Soal 10 PPK Koja dan Cilincing Hilangkan Suara Pileg
Reporter
Imam Hamdi
Editor
Dwi Arjanto
Rabu, 17 Juli 2019 20:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menjawab eksepsi atau keberatan pengacara 10 anggota Panitia Pemilihan Kecamatan atau PPK Koja dan Cilincing yang menjadi terdakwa penghilangan suara pada Pemilu Legislator 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu, 17 Juli 2019.
Jaksa Erma Oktora mengatakan dakwaan yang telah dibacakan penuntut pada persidangan (terhadap 10 PPK itu) sebelumnya telah memenuhi syarat formil dan materil sesuai ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP.
"Bahwa Keberatan (Eksepsi) penasehat hukum terdakwa tidak beralasan dan tidak berdasar serta melampaui lingkup eksepsi karena telah menyangkut materi pokok perkara," kata Erma di dalam persidangan.
Dalam eksepsi yang dibacakan, pengacara terdakwa La Redi Eno, menilai zurat dakwaan penuntut batal demi hukum atau Null and Void. Alasannya, seluruh terdakwa dijerat oleh dua pasal yang berbeda yakni pasal Pasal 532 dan 505 Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017, tetapi materi dakwaannya sama.
Kedua, Redi menilai surat dakwaan penuntut Obscuur libele, tidak cermat, kabur dan tidak jelas. Terakhir, pengacara menilai perkara ini telah kedaluwarsa.
Erma menjelaskan bahwa dakwaan penuntut bersifat alternatif atau pilihan. Sehingga memungkinkan uraiannya sama antara dakwaan ke satu dengan dakwaan kedua. "Namun, akhirnya akan dilihat pasal manakah yang akan dibuktikan penuntut umum sebagaimana perbuatan para terdakwa."
Sedangkan, penguraian fakta dan keadaan yang lengkap dalam surat dakwaan, lebih memberi kejelasan bagi terdakwa dan hakim tentang tindak pidana yang didakwakan. Namun, surat dakwaan yang tidak memuat uraian tentang fakta dan keadaan secara sempurna dan lengkap, tidak mengakibatkan batalnya surat dakwaan.
Selain itu, terkait dengan pernyataan bahwa perkara ini telah kedaluwarsa, menurut Jaksa, ada kesalahan mengetik tanggal dalam kasus ini. Kesalahan penulisan tanggal laporan tersebut terjadi pada 13 April, padahal tanggal sebenarnya adalah 13 Mei 2019.
Ia menuturkan kesalahan tersebut sudah diperbaiki di tingkat penyidikan hingga ke tinggkat persidangan di mana majelis hakim juga telah merevisi mengenai kesalahan penulisan tanggal tersebut.
Menurut dia, mengenai perhitungan tanggal tersebut penasehat hukum 10 PPK tidak mencermati mengenai perhitungan tanggal kerja dengan tanggal kalender. Sebab, dalam perhitungan tenggat waktu dalam UU Pemilu digunakan adalah menggunakan hari kerja sehingga hari libur nasional atau cuti bersama tidak ikut terhitung. "Bahwa dengan demikian seluruh dalil penasehat hukum tidak mendasar dan perkara ini juga telah diterima di pengadilan negeri untuk dilakukan proses persidangan."