Warga Jakarta Bicara Reuni 212 Tahun Ini, Ada yang Tidak Peduli
Reporter
M Yusuf Manurung
Editor
Zacharias Wuragil
Kamis, 28 November 2019 19:22 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tanggapan beragam diberikan atas agenda Reuni 212 pada 2 Desember 2019. Sebagian warga yang ditemui Tempo terang-terangan mendukung agenda yang pernah berkontribusi memberi tekanan terhadap pemidanaan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas tuduhan penistaan agama dua tahun silam itu.
Warga Kelapa Gading, Jakarta Utara, Siti, 32 tahun, merupakan salah satu yang mendukung. Menurut guru TK di sebuah yayasan pendidikan swasta itu, Reuni 212 mampu menjadi wadah persatuan umat Islam. "Itu kan ukhuwah," ujar Siti saat ditemui di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Kamis 28 November 2019.
Siti bahkan mengaku sangat ingin terlibat dalam agenda yang dinisiasi Persaudaraan Alumni atau PA 212 tersebut. Namun, tuntutan pekerjaan membuatnya hanya bisa menyaksikan melalui layar televisi. Dia mengatakan takjub setiap kali melihat umat Islam berkumpul dalam Reuni 212. "Seperti melihat orang pada wukuf," kata dia.
Warga lainnya dari Kwitang, Jakarta Pusat, Rizky, 22 tahun, juga mengaku selalu ikut Reuni 212. Sisi positif dari acara itu, menurut dia, sama seperti yang disampaikan oleh Siti yakni menjadi wadah silaturahmi. Walau begitu, anak sulung dari enam bersaudara tersebut punya alasan lain selalu mengikuti Reuni 212.
"Kalau misalnya gak ikut, sama orang tua pasti ditarik buat ikut. Kalau sudah orang tua ngajak, saya gak bisa menolak," ujar Rizky.
Sopir ojek online yang ditemui Tempo di sekitar Stasiun Palmerah, Jakarta Barat, itu mengatakan bahwa jalan-jalan di kawasan Kwitang bakal dipadati peserta Reuni 212 nanti. Menurut dia, mayoritas warga di sana selalu mengikuti acara Reuni 212.
"Orang Kwitang pasti ikut, karena bawa nama besar Habib Ali (Habib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi)," ujar dia.
Penilaian berbeda datang dari Nugy (27), warga yang tinggal di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Menurutnya, Reuni 212 tidak penting untuk diselenggarakan kembali. Dia malah khawatir, luka dan 'panasnya' Pemilihan Presiden 2019 lalu yang belum pulih sepenuhnya bakal kembali mencuat dengan diadakannya Reuni 212.
<!--more-->
"Sebagai kaum kelas pekerja ibu kota, saya jujur lelah melihat aksi-aksi jalanan seperti itu. Soalnya kan masih sensitif juga," ujar karyawan swasta itu.
Walau begitu, Nugy mengaku paham setiap orang punya hak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat. Dia mempersilakan Reuni 212 tetap berlangsung namun dengan catatan tidak mengganggu ketertiban umum dan damai.
"Dan jangan ada lagi pergesekan seperti yang sudah terjadi sebelumnya," kata dia mengimbau.
Berbeda lagi dengan Fadiyah, 24 tahun, yang mengaku tidak peduli Reuni 212 digelar atau tidak. Alasan Fadiyah, Reuni 212 tak mewakili kepentingannya. "Jika aksinya berkaitan dengan semisal Undang-Undang Ketenagakerjaan, saya bisa merasa terwakili, bahkan mendukung," ujar perempuan yang tinggal di daerah Jakarta Timur itu.
Reuni 212 tahun ini rencananya kembali digelar di Monumen Nasional atau Monas. Di gelaran perdana gerakan ini pada Desember 2016 lalu, massa menuntut pemidanaan terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas dugaan tindak pidana penistaan agama. Tahun ini, kecaman ditujukan terhadap Sukmawati Soekarnoputri karena dianggap telah membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan Presiden Soekarno.