Aktivis Papua Batal Bebas, Amnesty: Diduga Ada yang Minta Uang
Reporter
M Yusuf Manurung
Editor
Juli Hantoro
Kamis, 14 Mei 2020 14:35 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan penundaan pembebasan dengan mekanisme asimilasi terhadap lima terpidana kasus makar Papua tidak bisa diterima.
"Para tahanan politik yang dalam istilah kami adalah tahanan hati nurani tersebut harus segera dibebaskan dan tanpa syarat. Mereka bahkan seharusnya tidak pernah dipenjara sejak semula," ujar Usman dalam keterangan tertulis, Kamis, 14 Mei 2020.
Menurut Usman, penundaan ini terjadi setelah otoritas rumah tahanan atau Rutan memberikan alasan berbelit-belit. Dia berujar, awalnya pihak Rutan menyatakan tidak bisa melepaskan kelima aktivis Papua tersebut karena belum menerima salinan putusan pengadilan. Namun setelah menerima salinan pun, kata Usman, ternyata pelepasan narapidana tidak segera dijalankan.
"Bahkan pendamping mereka sempat melaporkan kepada Amnesty adanya oknum yang meminta uang. Ini menimbulkan dugaan adanya praktik jual beli asimilasi di penjara karena selama ini belum bisa benar-benar dihapuskan," kata Usman.
Karena itu, Usman meminta Ombudsman turun tetap tangan karena kuatnya dugaan maladministrasi dalam masalah ini. Walaupun, kata dia, pihak berwenang berdalih alasan penundaan pembebasan itu karena ancaman penyebaran Covid-19 serta aturan pemerintah terkait kejahatan terhadap keamanan negara.
Pembebasan bersyarat atau asimilasi terhadap lima aktivis Papua yakni Suryanta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, Dano Anes Tabuni, dan Ariana Lokbere dikabarkan batal secara tiba-tiba. Kuasa hukum para terpidana, Michael Hilman berujar bahwa kliennya harusnya dibebaskan pada Selasa, 12 Mei 2020.
Menurut Michael, penasehat hukum telah menunggu penjemputan pembebasan sejak pukul 10.00 di hari itu. Namun hingga pukul 17.00 WIB, petugas di rumah tahanan (Rutan) Salemba dan Rutan Pondok Bambu berkeras untuk tidak membebaskan kelima narapidana.
"Dengan alasan vonis kelimanya memiliki unsur kejahatan terhadap negara," ujar Michael mengutip keterangan petugas dalam keterangan tertulis, Rabu, 13 Mei 2020.
Padahal menurut Michael, sehari sebelum dijadwalkan bebas atau 11 Mei 2020, petugas di Rutan Salemba dan Pondok Bambu menyatakan perihal administrasi kelima kliennya sudah lengkap dan memenuhi syarat. Namun secara mendadak dibatalkannya di hari H pembebasan.
"Kelima tahanan politik itu untuk keluar sudah benar-benar dipastikan oleh pihak Rutan dan mereka sudah disuruh mengemas barang-barang. Tapi hingga di ruangan transit, tiba-tiba dibatalkan," kata Michael.
Menurut Michael, pembatalan pembebasan tersebut menunjukkan bahwa Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 berlaku secara diskriminatif terhadap kliennya yang merupakan tahanan politik. Aturan itu mengatur tentang syarat pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi barapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19.
"Selain praktik diskriminasi, petugas Rutan Salemba dan Pondok Bambu dalam perkara ini di bawah kewenangan administratif Kanwil Hukum dan HAM DKI Jakarta juga telah melakukan maladministrasi terhadap upaya pembebasan kelima tahanan politik Papua," kata dia.
Dalam kasus makar Papua ini, jumlah terpidana yang dijatuhi vonis oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah enam orang. Selain kelima orang yang batal bebas pada Selasa lalu, ada satu narapidana bernama Issay Wenda yang sudah dibebaskan dengan mekanisme asimilasi pada 28 April 2020.
Pada 24 April lalu, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan keenam aktivis Papua tersebut bersalah melanggar Pasal 106 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Arina Elopere, Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Anes Tabuni dijatuhi hukuman penjara selama 9 bulan. Sementara Issay Wenda dihukum lebih ringan yakni 8 bulan penjara.