DKI Sebut Ada 3 Skema Pembangunan Kampung Susun Akuarium
Reporter
Imam Hamdi
Editor
Juli Hantoro
Kamis, 15 Oktober 2020 13:57 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah DKI Jakarta mengkaji tiga skema penyediaan hunian dalam proses pembangunan permukiman yang masuk dalam program community action plan (CAP).
Deputi Gubernur Bidang Pengendalian Penduduk dan Permukiman DKI Jakarta Suharti Sutar mengatakan, pembangunan sejumlah kawasan permukiman di DKI, memang masih banyak kendala dalam hal legalitas.
"Kami mencari jalan tengahnya. Karena upaya menyusun regulasi itu harus dicari jalan penyelesaiannya," kata Suharti dalam diskusi daring, 15 Oktober 2020. Salah satunya dalam proses pembangunan Kampung Susun Akuarium yang dimulai tahun ini. Pemerintah menyiapkan tiga skema dalam proses pembangunan perkampungan yang pernah dibongkar Basuki Tjahaja Purnama saat menjabat Gubernur DKI pada April 2016 lalu.
Skema kerja sama antara warga dan Pemerintah DKI pertama adalah warga mendapatkan sertifikat hak milik-satuan rumah susun (SHM-SRS), hak guna bangunan dan hak pengelolaan lahan.
Nantinya warga mendapatkan SHM-SRS atas unit yang ditinggali oleh warga. Selain itu, warga juga akan membentuk koperasi sebagai pengelola hunian. "Masa hunian 2x25 tahun."
Skema satu ini memberikan kepastian bermukim milik badan hukum warga. Selain itu, warga juga memiliki aset unit bangunan yang dimiliki dan dapat ditransaksikan. "Namun hambatan penerapan skema satu ini adalah status tanah sertifikat hak pakai milik Pemerintah DKI. Proses pengurusan HGB dan HPL bakal memakan waktu panjang," ujarnya.
Pemerintah juga nantinya perlu menghibahkan bangunan yang telah jadi kepada warga. Pemberian hak guna bangunan dianggap sebagai pendapatan daerah sehingga diperlukan pembayaran HGB dan BPHTB. "Pemberian HGB ke masyarakat berpenghasilan rendah adalah hal baru."
Skema dua adalah pemberian sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG) dan hak pakai. Skema dua ini, warga mendapatkan SKBG atas unit yang ditinggali warga. Koperasi warga dibentuk untuk mengelola hunian. Selain itu, unit warga tidak bisa ditransaksikan tanpa sepengetahuan koperasi. "Masa hunian 2x30 tahun," ujarnya.
Keuntungan skema dua ini adanya kepastian bermukim milik badan hukum warga. Namun, status tanah masih tetap milik Pemerintah DKI sehingga tidak perlu perubahan nama yang memakan waktu lama. "Warga pun memiliki aset dalam bentuk masa tinggal dan bisa diwariskan selama SKBG berlaku," ucapnya.
Namun hambatan penerapan skema dua adalah dasar hukum yang belum diatur pemerintah pusat. Pemerintah juga nantinya perlu menghibahkan bangunan yang telah jadi kepada warga. "Dan kebijakan SKBG ini juga masih baru," katanya.
Sedangkan skema ketiga adalah kerja sama pengelolaan kampung susun dan hak pakai. Dalam skema terakhir ini Pemerintah DKI dan warga melakukan kerja sama pengelolaan kampung susun. Koperasi warga nantinya didirikan untuk mengelola kampung susun dan unit tidak bisa ditransaksikan atau diperjualbelikan warga.
"Skema ini nantinya koperasi warga menyewa aset tanah dan bangunan milik DKI di bawah standar."
Keuntungan aset hunian terjangkau masih dimiliki pemerintah dan proses penyusunan kerjasama lebih cepat. Status tanah pun tetap milik DKI sehingga tidak perlu ada perubahan atas nama yang memakan waktu lama. "Tidak ada jual beli aset milik pemerintah untuk kepentingan ekonomi."
Hambatan skema ketiga ini, kerjasama yang memungkinkan adalah sewa antara pemerintah dan koperasi yang dikelola warga. Selain itu, kerja sama yang diatur Peraturan Kementerian Dalam Negeri adalah per lima tahun dan bisa diperpanjang. "Tapi warga maunya masa hunian yang lebih lama. Bahkan ada yang menyampaikan ingin 100 tahun."
Suharti menuturkan skema ketiga yang paling memungkinkan untuk diterapkan dalam proses pembangunan di Kampung Akuarium. "Sekarang prosesnya sudah dilakukan dan koperasi yang nanti mengelola kampung susun."