PSI Sebut Pemisahan Tempat Duduk di Angkot Tak Efektif Cegah Pelecehan Seksual
Reporter
Moh. Khory Alfarizi
Editor
Clara Maria Tjandra Dewi H.
Selasa, 12 Juli 2022 08:13 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI Eneng Malianasari menanggapi rencana Dinas Perhubungan DKI memisahkan tempat duduk wanita dan pria di angkot. Hal itu dilakukan sebagai upaya pencegahan pelecehan seksual di angkutan kota (angkot).
Eneng menilai kebijakan itu tidak efektif dan hanya berefek jangka pendek. "Belum lagi Dishub tidak memikirkan ruang angkot yang sempit untuk membagi tempat duduk, berbeda dengan Transjakarta atau commuter line yang memiliki ruang luas," ujar dia lewat keterangan tertulis pada Senin, 11 Juli 2022.
Anggota Komisi C DPRD DKI itu menjelaskan problem yang terjadi bukan hanya soal implementasi dari kebijakan tersebut, tapi bagaimana pengawasan dan penertiban yang dilakukan aparat penegak hukum. Sehingga kejadian pelecehan seksual tidak terjadi lagi.
Dia meminta agar Pemerintah Provinsi DKI bersama semua stakeholder terkait, baik institusi Komnas HAM, Komnas Anak dan Perempuan, juga LSM lainnya duduk bersama membahas strategi jangka panjang, terutama di angkot. "Dengan duduk bersama, diharap melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi," kata dia.
Maraknya tingkat kekerasan dan pelecehan seksual tentu menjadi concern semua pihak, kata politisi muda PSI itu. Pemerintah perlu merumuskan sistem untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan warga saat berada dalam transportasi umum.
Menurut Amnesty International pelecehan dan kekerasan seksual termasuk kasus HAM berat. Sehingga, Eneng berujar, tindakan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual harus ditangani secara sistematis terorganisir agar bisa memutus mata rantai dan selanjutnya mencegah terjadinya kembali pelecehan seksual.
Selain itu, kewajiban masyarakat melaporkan pelaku pelecehan seksual juga telah diatur secara hukum. Dalam UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah disahkan pada tanggal 12 April 2022 lalu.
"Aparat penegak hukum juga diminta untuk memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang yang berlaku," tutur Eneng Malianasari.
Dalam Pasal 5 UU TPKS mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara.Tak hanya itu, UU TPKS juga mengatur pelecehan seksual fisik sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual. Menurut Pasal 6 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300 juta.
Dugaan pelecehan seksual ini viral di media sosial. Dalam video yang viral, disebutkan korban memperoleh pelecehan seksual saat kondisi angkot cukup ramai. Pelaku duduk di bangku sisi kanan yang berisi empat orang dan duduk paling pojok di belakang. Adapun korban duduk di sampingnya.
Saat itu, pelaku memasukkan tangannya ke dalam jaket dan menaruh tas di bagian depan badannya. Pelaku mulai melakukan pelecehan seksual. Korban langsung menepis tangan pelaku sambil pindah tempat duduk dan memvideokan wajah pelaku pelecehan di angkot itu.
Baca juga: Pelaku Pelecehan Seksual di Angkot Diminta Serahkan Diri ke Polisi