AJI dan Monash University Imbau Pentingnya Penghapusan Ujaran Kebencian di Masa Pemilu 2024
Reporter
Aisyah Amira Wakang
Editor
Linda novi trianita
Rabu, 14 Februari 2024 06:58 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Monash University Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengimbau pentingnya penghapusan ujaran kebencian secara daring khususnya menjelang Pemilu 2024. Sekretaris AJI Indonesia, Ika Ningtyas mengatakan, perilaku ujaran kebencian itu perlu dihindari agar tidak menimbulkan polarisasi. “Ujaran kebencian pada pemilu 2014 dan 2019 digunakan untuk tujuan mengerek suara pemilih sehingga memicu polarisasi,” ujar Ika melalui keterangan tertulis pada Senin, 12 Februari 2024.
Menurut mereka, ujaran kebencian berpotensi memicu perselisihan sosial. Ujaran kebencian juga dapat berujung pada stigma, persekusi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Terlebih, dapat memengaruhi opini publik di Pemilu 2024 besok.
Berdasarkan hasil temuan dari peneliti Monash University Indonesia sepanjang 1 September 2023 hingga Januari 2024, ujaran kebencian terjadi paling banyak di Twitter yakni 51,2 persen. Sedangkan, di Facebook sebanyak 45,15 persen dan Instagram sebanyak 3,34 persen.
Peneliti mulanya memantau 67 kata kunci dalam percakapan yang berhubungan dengan pemilu dan sembilan kelompok minoritas, yakni Kristen, Katolik, Tionghoa, Syiah, Ahmadiyah, Lesbian, Biseksual, Biseksual, Transgender, dan Queer atau LGBTQ, dan Penyandang Disabilitas, Yahudi dan Rohingya.
Mereka kemudian meriset sebuah teks, terutama dalam teks yang panjang dan mengelompokkannya menjadi enam kategori, yaitu serangan terhadap indentitas, hinaan, ancaman atau hasutan, kata-kata kotor, seksual atau vulgar, dan lainnya.
Hasilnya, kategori serangan terhadap identitas paling banyak dilakukan yakni 123.968. Disusul dengan bentuk ujaran kebencian seperti hinaan sebanyak 104.664, kata-kata kotor 42.267, ancaman atau hasutan 39.153 teks, seksual atau vulgar 3.528 teks, dan lainnya 5.665 teks.
Serangan terbanyak menimpa kelompok Yahudi sebanyak 90.911 teks. Kemudian kelompok disabilitas sebanyak 4.6278 teks, Tionghoa 9.563 teks, LGBTIQ 7.262 teks, lainnya 5.587 teks, Kristen & Katolik 4.755 teks), Syiah 1.214 teks, dan Ahmadiyah 55 teks.
Ujaran kebencian terbanyak ditujukan terhadap kelompok Yahudi karena peristiwa serangan Israel di Gaza. Kemudian, kelompok disabilitas menunjukkan percakapan intens tentang buta hukum, tuli terhadap suara rakyat, yang menekankan konteks kecacatan hukum dan kecacatan demokrasi.
Oleh karena itu, Ika menegaskan, khususnya kepada media massa bahwa mereka bertanggung jawab untuk meredam ujaran kebencian tersebut. AJI juga mendorong jurnalis untuk memproduksi pemberitaan yang mendukung keberagaman. Pemberitaan di media massa seharusnya juga menguatkan hak-hak kelompok minoritas.
Media massa, kata Ika, seharusnya dapat memproduksi narasi alternatif untuk mendukung hak-hak kelompok minoritas. “Masalahnya, sejumlah media massa mengamplifikasi narasi kebencian yang diproduksi pasukan siber di media sosial tanpa kontrol yang ketat,” ujar Ika.
Umumnya, ujaran kebencian dapat diakses di mana dan kapan saja sehingga membuat kondisi sosial tidak menentu. Misal, perbedaan preferensi politik semakin menguat di masa kampanye. Oleh karena itu, Monash University dan AJI Indonesia mengimbau, perlu keterlibatan aktif dari berbagai pihak untuk menghentikan penyebaran informasi yang berbahaya. Sehingga menciptakan ruang digital yang aman dan ramah.
Pilihan Editor: Kasus Ujaran Kebencian Meningkat Terhadap Kelompok Minoritas Sepanjang Pemilu 2024