Kepastian ini tertuang dalam surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 3144.K/10/DJM/ 2010 tertanggal 10 Fabruari 2010. Dalam surat itu pemerintah meminta PT Pertamina untuk mengelola kilang pengolahan gas bumi.
Menteri Energi dala, suratnya itu meminta Pertamina menjamin dan bertanggungjawab atas standar dan mutu LPG yang diproduksi dari kilang pengolahan sesuai dengan yang ditetapkan.
Selain itu, menjamin dan bertanggungjawab atas penggunaan peralatan, keakuratan dan sistem alat ukur yang sesuai standar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian, pengelola harus melaporkan kepada Direktur Jenderal Minyak dan Gas mengenai pelaksnaan penugasan secara tertulis setiap 1 (satu) bulan atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Direktur Utama Muhammad Cholid Muhammad Cholid menyambut baik keputusan tersebut. Menurut dia, perseroan tidak ingin masalah ini berlarut-larut. “Ini demi kepentingan nasional. Tepat pemerintah yang mengambilalihan pengoperasian kilang ini,” katanya dalam siaran pers yang diterima Tempo, Kamis (11/2).
Tugas pengoperasian selama tiga bulan ini bertujuan untuk menghindari kekosongan hukum atas pelaksanaan eksekusi putusan kasasi tatausaha negara (TUN) yang jatuh pada 10 Februari 2010 ini.
Muhammad menjelaskan sebenarnya sesuai perjanjian jual beli gas (PJBG) pada 11November 2004 itu tidak ada alasan Pertamina EP menutup atau menghentikan pasokan gas kepada BBWM. “Kontraknya kami pakai model jual beli putus,” katanya. “Sehingga mau jual gasnya langsung ke konsumen atau dialirkan ke kilang, terserah kami.”
Dia menambahkan penghentian pengoperasian kilang pengolahan tersebut akan memberi sejumlah dampak. Dampak itu meliputi berpotensi terhadap timbulnya pencemaran lingkungan (peningkatan gas buang), menurunnya produksi minyak bumi, terganggunya pasokan LPG untuk masyarakat Jakarta dan sekitarnya sebesar 55 persen dan secara nasional sebessar 3 persen. Di samping itu akan menimbulkan permasalahan sosial di daerah sekitar serta terganggu pasokan gas untuk industri
SETRI