TEMPO Interaktif, Jakarta - Mimpi mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melihat realisasi grand design pola transportasi makro rancangannya terancam kandas. Sebab, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menghentikan pembangunan satu dari empat moda transportasi massal dalam rancangan itu, yakni monorel. "Saya sedih mendengar pembangunan monorel akan dihentikan," kata Sutiyoso melalui sambungan telepon kepada Tempo, Rabu, 21 September 2011 malam.
Bang Yos, begitu sapaan akrabnya, pernah berangan-angan Ibu Kota mempunyai sistem transportasi massal terintegrasi untuk mengatasi masalah kemacetan. Dalam bayangannya, moda transportasi massal itu harus aman, nyaman, tepat waktu, dan terjangkau. Sejumlah pakar transportasi dan konsultan asing pun dia kumpulkan dalam satu tim. "Berdasarkan penelitian mendalam yang dilakukan para pakar, dipilih empat moda transportasi massal," ujar Bang Yos.
Keempat moda itu adalah busway, monorel, mass rapid transit (MRT), dan waterway. "Empat moda yang saling mengakses, sangat efektif," ujar pria yang akrab disapa Bang Yos ini.
Dari empat moda tersebut, baru satu yang sudah beroperasi di Jakarta, yakni busway. Dari rencana 15 koridor, 10 di antaranya rampung dibangun dalam kurun waktu empat tahun pada masa jabatan Sutiyoso. Ketika itu, tujuh di antaranya beroperasi. Setelah itu, tiga lainnya menyusul beroperasi dan kini koridor 11 jurusan Kampung Melayu-Pulogebang dalam pengerjaan.
Sayang, pembangunan moda lainnya, yaitu monorel mangkrak. Kendala muncul sejak awal pengerjaan. Kontraktornya tiga kali berganti. Awalnya, proyek dipegang perusahaan Malaysia, MTrans. Namun setelah diresmikan pada 2004, nota kesepahaman dibatalkan. Walhasil, proyek dialihkan pada Konsorsium PT Jakarta Monorail dengan Omnico Singapura. Mereka menggandeng PT Inka dan PT Bukaka Teknik Utama sebagai penyedia kereta dan suku cadangnya.
Pada 2005, Omnico gagal memenuhi tenggat setoran modal. PT Adhi Karya akhirnya mengambil-alih 45 persen saham Omnico. Tapi, proyek monorel berhenti total pada Maret 2008, setelah Dubai Islamic Bank batal mengucurkan dana. Tiga tahun berselang, muncul wacana dari Pemerintah Provinsi DKI untuk menghentikan proyek monorel.
"Kita konsisten saja. Pasti ada kendala. Saya juga susah waktu pembangunan busway dulu. Tapi inilah seni memimpin, bagaimana kita menghadapi masalah."
Sutiyoso menawarkan dua solusi untuk merampungkan monorel. Pertama, pemegang proyek mencari investor lain. "Tidak usah dari luar negeri, investor dalam negeri banyak yang mau," tuturnya. Atau, yang kedua, pemegang proyek mencari kontraktor pengganti. Mereka, kata dia, bisa meminta penggantian biaya atas pekerjaan yang sudah diawali kepada penerusnya atau meminta penerus memperhitungkannya sebagai investasi.
Sutiyoso berharap setidaknya satu dari dua koridor monorel, yakni koridor greenline rampung. Koridor ini menghubungkan sentra ekonomi, yakni perdagangan dan perkantoran. "Kalau busway dan greenline berjalan saja sudah lumayan membantu (mengatasi kemacetan)," ujarnya.
Ia memperkirakan, uang Rp 3 trliun cukup untuk menyelesaikan monorel koridor greenline. "Sepuluh bank berinvestasi, masing-masing Rp 300 miliar saja sudah bisa berjalan," ucapnya.
Mengenai rencana Pemerintah DKI mengganti proyek monorel menjadi proyek bus layang, Sutiyoso mengungkapkan pemimpin memang harus mengambil keputusan, tapi ia mengingatkan, "Harus ada alasan yang jelas dan penelitian yang akurat." Demikian juga soal rencana pemanfaatan tiang beton penyangga monorel untuk penyangga bus layang. "Jangan sampai rugi. Bebannya kan beda, ini harus diperhitungkan."
Keputusan soal transportasi massal, kata Sutiyoso, perlu segera diambil untuk mengantisipasi kemungkinan lalu lintas Jakarta kolaps akibat ketidakseimbangan pertumbuhan kendaraan bermotor dengan jalan. Dalam proyek transportasi massal, Sutiyoso juga mengingatkan, jangan ada pikiran mencari untung. Keuntungan, kata dia, harus dilihat dari sisi lainnya, seperti penghematan bahan bakar minyak dan penurunan polusi udara.
MARTHA THERTINA