Abdul Bais, penderita penyakit kaku lutut atau stiff knee usai berobat dan pulang dengan motor roda tiga ketika dikawasan Tanah Abang, Jakarta, (28/05). Abdul Basis salah satu peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS). Tempo/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bidang Jamkesmas Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Yuditha Endah, mengatakan tagihan program Kartu Jakarta Sehat yang masuk dari rumah sakit sebagian besar merupakan biaya obat. "Bisa 40-50 persennya untuk biaya obat," kata Yuditha ketika dihubungi Tempo, Jumat, 14 Juni 2013.
Sejumlah rumah sakit menyatakan tak sanggup lagi melayani pasien Kartu Jakarta Sehat. Alasannya sistem Ina CBGs Askes tak membayar seluruh klaim Rumah Sakit. Satu dari rumah sakit yang mengaku kesulitan adalah RS Umum Daerah Cengkareng.
Kepala Pelayanan Rumah Sakit Budiman Widjaja, mengatakan, rumah sakitnya kewalahan dengan sistem pembayaran tagihan yang kini dikelola PT Askes. “Tidak seluruh klaim dikabulkan,” kata Budiman. Dalam satu bulan, total tagihan kartu sehat di rumah sakit ini mencapai Rp 16 miliar. Ongkos pengobatan yang diganti hanya Rp 11,2 miliar. Sisanya, Rp 4,8 miliar, ditanggung rumah sakit. “Kalau begini terus, bagaimana jadinya?”
Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany menilai besarnya tagihan obat kemungkinan akibat sebagian rumah sakit cenderung menggunakan obat bermerk. Begitu pula dengan peralatan.
"Contohnya pemberian obat antibiotik ke pasien," kata Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany di kantor Tempo, Senin, 10 Juni 2013. Obat generik harganya hanya Rp 7 ribu. Tapi dokter kerap memberi obat yang harganya Rp 70 ribu. Semestinya rumah sakit mengobati pasien menggunakan obat dalam daftar e-catalog atau Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO). Cara ini akan lebih efisien.
Hasbullah menjelaskan program Kartu Jakarta Sehat juga berfungsi sebagai penghilang praktik dokter nakal. Alasannya, banyak dokter terikat kontrak dengan farmasi tertentu yang kemudian menggunakan obat tertentu pula. Dokter yang semacam ini dianggap mencari untung dari sakitnya seseorang. Mereka lebih memilih obat buatan pabrikan yang kerja sama dibandingkan menggunakan obat generik. (Baca Lengkap: Edsus Evaluasi Jokowi)
Bir pletok merupakan salah satu minuman tradisional Betawi yang populer di Jakarta. Meskipun namanya bir, minuman ini tidak mengandung alkohol sama sekali.