TEMPO.CO, Jakarta - Komnas Perlindungan Anak Indonesia menilai tren spidometer merupakan dampak dari orang tua yang permisif.
Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia, mengatakan tren spidometer hanya akan membahayakan kondisi anak dan meresahkan orang tua. "Sangat berbahaya dan mestinya dilarang," kata Arist.
Tindakan melarang seharusnya dilakukan orang tua, bukan malah memfasilitasi. "Kebanyakan orang tua bersifat permisif dan berlebihan dalam memberi hadiah kepada anaknya," Arist menegaskan.
Menurut Arist, orang tua seharusnya memberi sesuatu sesuai kebutuhan anak, bukan atas keinginan sang anak. Memberikan hadiah kendaraan kepada anak yang masih di bawah umur justru akan berdampak buruk.
"Itu artinya, dalam kondisi (remaja) seperti itu, belum bisa diberikan kewenangan (kepada) anak karena masih labil," ujar Arist. "Justru orang tua akan mencelakakan anaknya."
Selain melanggar UU lalu lintas, spidometer juga dapat membahayakan kelangsungan hidup. Arist juga mengimbau petugas jasa tol atau polisi jasa marga agar bertindak tegas untuk tidak memberikan izin masuk tol bagi anak-anak yang mengemudi.
Seperti diketahui anak-anak remaja kini, terutama lelaki, sedang dilanda tren spidometer, yaitu menyetir mobil dalam kecepatan sangat tinggi. Jika jarum spidometer sudah di 140 km/hr atau bahkan 200 km/hr, akan difoto dan diunduh di sosial media.
KPAI Ancam Uji Materi Kebijakan Full Day School ke Mahkamah Agung
18 Juni 2017
KPAI Ancam Uji Materi Kebijakan Full Day School ke Mahkamah Agung
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Asrorun Ni'am, pihaknya sudah mengawasi dan mengkaji untuk judicial review ke MA jika full day school dilaksanakan.