Sejumlah kendaraan mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) Kuningan, Jakarta, Senin (3/9). TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mendukung rencana pemerintah pusat membatasi pembelian bahan bakar minyak dengan kartu debit. Cara itu dianggap lebih efektif dan irit ketimbang memasang cip untuk sistem radio frequency identification (RFID). (Baca: Pemprov DKI: Kartu BBM Sulit Diterapkan)
"Kalau dengan cip harus keluar biaya, sementara hampir semua orang sudah punya kartu debit," kata dia setelah memimpin upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monas pada Selasa, 1 Oktober 2013.
Penggunaan kartu debit bisa merekam data pembelian BBM. Pria yang akrab disapa Ahok ini juga mendukung kerja sama dengan bank karena data keuangan dan transaksi perbankan yang sudah terpercaya. "Data bank sudah teruji dan manajemen kasnya sudah baik, jadi pembelian langsung ketahuan," kata dia.
Jika sudah melampaui kuota, petugas di SPBU bisa menghentikan penjualan BBM kepada konsumen tersebut. Hal ini diyakini bisa menghindari pembeli bandel yang menumpuk BBM dan menjualnya lagi dengan harga lebih tinggi. Selain itu, data pembeli juga bisa dicocokkan dengan pembayaran pajak penghasilan.
Ahok menilai transaksi dengan kartu debit mampu mempersingkat waktu antre. Soalnya, pembeli dan petugas SPBU tak perlu repot menghitung uang kembalian. Namun, saat ini belum semua bank bekerja sama dengan SPBU sehingga perhitungan harganya berbeda-beda. "Jadi perlu ada satu kartu yang harga potongannya sama untuk semua bank," ujarnya. Tetapi semua itu harus ditangani pemerintah pusat.
Menurut Ahok, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya berperan menyediakan bus-bus baru untuk memperbaiki transportasi umum. Selain itu, mereka akan menerapkan tarif parkir maksimal Rp 5.000 untuk sepeda motor. "Supaya mereka mau parkir motornya dan naik kendaraan umum," katanya.