Ganti Istilah "Cina" Tak Hilangkan Diskriminasi

Reporter

Minggu, 30 Maret 2014 05:09 WIB

Warga keturunan Tionghoa melakukan pawai kirab budaya di kawasan Cipondoh, Tangerang, Banten, (16/2). Kirab budaya yang diikuti warga keturunan Tionghoa ini sebagai bagian dari hari terakhir perayaan Cap Goh meh. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat

TEMPO.CO , Jakarta: Budayawan Remy Sylado tak setuju dengan penggantian kata "Cina" dengan "Tionghoa" dan "Tiongkok". Perubahan istilah itu sudah diputuskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014. Tujuannya, menghilangkan diskriminasi dan efek sosial dari kata "Cina".
Namun Remy menilai penggunaan kata Tiongkok dan Tionghoa tak akan mengubah itu.

"Kalau mau memberi pengakuan lebih baik, biarkan orang Cina menggunakan nama asli mereka yang terdiri dari tiga suku kata itu," kata Remy ketika ditemui di Salemba, Sabtu, 29 Maret 2014. Menurut dia, penggunaan nama itu akan membuat orang Indonesia keturunan Cina merasa lebih dihargai dan diakui.

Remy tak setuju dengan penggunaan istilah Tiongkok dan Tionghoa untuk menggantikan kata Cina. "Kemudian bagaimana nasib Pondok Cina, Bidara Cina, dan pecinan? Apa harus diganti juga jadi petionghoaan?" kata dia.

Memang, di negeri asalnya kata itu digunakan oleh kaum Manchu yang dulu menjajah Cina untuk menghina bangsa Cina. Tapi di Indonesia, kata Cina punya konotasi positif, dengan adanya berbagai istilah seperti pacar cina, petai cina, dan tinta cina. "Cina itu kata yang cantik," kata dia.

Pelafalan Cina juga juga sudah sesuai dengan lafal bahasa Indonesia. "Jadi tidak perlu diganti, kalau diganti malah akan mempertajam perbedaan," katanya.

Istilah Tiongkok, kata dia, juga lebih sarat kesan politis. Istilah Tinghoa pertama kali digunakan di Indonesia oleh gereja Protestan Calvinis pada abad 19. Pada perkembangannya, di tahun 1901 didirikanlah perkumpulan Tionghoa untuk menyatukan orang Cina pendatang dan Cina peranakan di Indonesia. "Salah satu pendirinya adalah pendiri Kompas, PK Ojong," kata Remy.

Lima dekade kemudian perkumpulan itu berganti nama menjadi Badan Permusyawarahan Kerakyatan Indonesia (Baperki). "Namun pada akhirnya Baperki berkiblat ke komunis, di sini akhirnya Tionghoa jadi berkonotasi komunis," kata dia. (Baca: Remy Sylado Kritik Keppres Soal Tiongkok)

ANGGRITA DESYANI


Berita Lainnya:



Berita terkait

Inilah 4 Akar Masalah Papua Menurut LIPI

22 hari lalu

Inilah 4 Akar Masalah Papua Menurut LIPI

Ada empat akar masalah Papua, yakni sejarah dan status politik, diskriminiasi, kekerasan dan pelanggaran HAM berat, dan kegagalan pembangunan.

Baca Selengkapnya

Asal Mula Hari Peduli Autisme Sedunia, Memahami Orang-orang dengan Spektrum Autisme

33 hari lalu

Asal Mula Hari Peduli Autisme Sedunia, Memahami Orang-orang dengan Spektrum Autisme

Hari Peduli Autisme Sedunia diperingati setiap 2 April untuk meningkatkan kesadaran tentang Gangguan Spektrum Autisme (ASD)

Baca Selengkapnya

Begini Ketentuan dan Bunyi Pasal Penistaan Agama yang Menjerat Panji Gumilang

40 hari lalu

Begini Ketentuan dan Bunyi Pasal Penistaan Agama yang Menjerat Panji Gumilang

Panji Gumilang dijerat Pasal Penodaan Agama, penghinaan terhadap agama di Indonesia masih mengacu pada Pasal 156a KUHP.

Baca Selengkapnya

Mangkrak 20 Tahun, Apa Itu RUU PPRT yang Belum Juga Disahkan DPR?

57 hari lalu

Mangkrak 20 Tahun, Apa Itu RUU PPRT yang Belum Juga Disahkan DPR?

Dua dekade RUU Perindungan Pekerja Rumah Tangga mangkrak tidak disahkan. Ini penjelasan mengenai RUU PPRT.

Baca Selengkapnya

International Women's Day Jogja 2024, Srikandi UGM: Rebut Kembali Hak Perempuan yang Tidak Diperjuangkan Pejabat Negara

59 hari lalu

International Women's Day Jogja 2024, Srikandi UGM: Rebut Kembali Hak Perempuan yang Tidak Diperjuangkan Pejabat Negara

Peringatan International Women's Day Jogja 2024, Ketua Divisi Aksi dan Propaganda Srikandi UGM sebut mengusung tema "Mari Kak Rebut Kembali!"

Baca Selengkapnya

Tentara Perempuan Ukraina Berperang di Dua Front: Melawan Rusia dan Diskriminasi di Militer

59 hari lalu

Tentara Perempuan Ukraina Berperang di Dua Front: Melawan Rusia dan Diskriminasi di Militer

Kementerian Pertahanan Ukraina mengatakan pada Oktober lalu bahwa hampir 43.000 tentara perempuan saat ini bertugas di militer.

Baca Selengkapnya

Malaysia Menang Terkait Isu Diskriminasi Uni Eropa terhadap Sawit di WTO

7 Maret 2024

Malaysia Menang Terkait Isu Diskriminasi Uni Eropa terhadap Sawit di WTO

Malaysia memenangkan gugatan di WTO melawan tindakan diskriminasi Uni Eropa terhadap produk biofuel dari minyak sawit.

Baca Selengkapnya

Kisah Marie Thomas Melawan Diskriminasi hingga Jadi Dokter Perempuan Pertama di Hindia Belanda

19 Februari 2024

Kisah Marie Thomas Melawan Diskriminasi hingga Jadi Dokter Perempuan Pertama di Hindia Belanda

Marie Thomas dikenal sebagai dokter perempuan pertama. Ia melalui diskriminasi saat sekolah kedokteran

Baca Selengkapnya

Mengenang Gus Dur, Presiden yang Mencabut Inpres Larangan Merayakan Imlek

8 Februari 2024

Mengenang Gus Dur, Presiden yang Mencabut Inpres Larangan Merayakan Imlek

Presiden Gus Dur mencabut instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 pada era Presiden Soeharto yang melarang perayaan Imlek.

Baca Selengkapnya

Universitas Harvard Dikomplain Diduga Diskriminasi Mahasiswa Muslim

8 Februari 2024

Universitas Harvard Dikomplain Diduga Diskriminasi Mahasiswa Muslim

Kementerian Pendidikan Amerika Serikat mengusut komplain bahwa Universitas Harvard terlibat dalam diskriminasi mahasiswa muslim pendukung Palestina.

Baca Selengkapnya