Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo melihat kondisi bagian dalam kereta monorel yang dipamerkan di kawasan Monas, Jakarta, Rabu (26/6). TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO,Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki dua pilihan untuk menentukan nasib kerja sama pembangunan monorel dengan PT Jakarta Monorail (JM). Pertama, jika kerja sama dilanjutkan, pemerintah harus menegosiasikan perincian perjanjian kerja sama. Kedua, jika tidak melanjutkan, pemerintah harus memberi kompensasi kepada PT Jakarta Monorail.
Hal itu dinyatakan Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia Danang Parikesit kepada Tempo, Selasa, 27 Mei 2014.
Perincian kerja sama itu, menurut Danang, terkait dengan luas properti yang diminta PT Jakarta Monorail. "PT JM harus memberikan alasan mengapa meminta 200 ribu meter persegi. Dokumennya harus diuji oleh independent appraisal (penaksir independen)," kata Danang.
Ia menambahkan, bila pemerintah benar-benar ingin membangun monorel, permintaan investor mesti difasilitasi. "Sejauh hal itu memenuhi syarat pelayanan publik," ujarnya.
Dia menyebutkan investor dan pemerintah harus sepakat dalam hal pengelolaan properti. Tanpa bisnis properti, pemerintah harus mengeluarkan subsidi atas tarif monorel DKI yang mencapai Rp 100 ribu per kilometer. Angka ini terpaut jauh dengan tarif di luar negeri yang hanya Rp 3 ribu per kilometer. (Baca juga: Jadi Plt, Ahok Boleh Tanda Tangani Kontrak Monore).
Ia menjelaskan lebih jauh bahwa pengelolaan properti tidak bisa dipisahkan dari bisnis monorel. Ia mencontohkan pengelolaan di Hong Kong. Dia mengatakan 90 persen pendapatan Hong Kong MRT berasal dari properti. Sedangkan di Jepang 50 persen dari properti. "Itu properti di stasiun, ya, bukan kawasan baru," kata guru besar Universitas Gadjah Mada ini.