TEMPO Interaktif, Jakarta:Perusahaan jasa angkutan umum, khususnya angkutan taksi, menjerit dengan kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), yang sejak Januari lalu sudah naik hingga Rp 150 untuk premium-yang menjadi bahan bakar utama armada taksi. Bahkan ada kemungkinan beberapa di antara mereka, yang bertahan menerapkan tarif lama, akan menerapkan tarif baru Menurut Mulyo, staf koordinator operasional Taksi Gamya, saat dihubungi, Senin (1/4), kenaikan harga BBM sebesar Rp 50, yang diumumkan Minggu (31/1) malam kemarin, cukup menghantam biaya operasional taksi yang masih menerapkan tarif lama tersebut. Dengan kenaikan BBM ini perusahaannya harus mensubsidi sebesar Rp 2000 tiap unit taksi setiap harinya. Dengan 500 unit taksi, Gamya harus mengeluarkan dana tambahan sebesar Rp 1 juta per hari atau Rp 30 juta per bulan. “Komponen biaya operasional BBM termasuk cukup besar. Mencapai 40 persen,” kata Mulyo. Selama ini, menurut Mulyo, untuk menekan biaya operasional, Gamya melakukan efisensi di berbagai bidang. Terutama di bidang sumber daya manusia. Sudah dua tahun belakangan, jelas Mulyo, Gamya tidak melakukan rekrutmen karyawan baru. Padahal biasanya setiap tahun, Gamya selalu melakukan penerimaan karyawan baru. Akibatnya, memang akhirnya Gamya mengalami sedikit kekurangan sumber daya manusia. “Tapi masih bisa diatasi dengan menempatkan orang-orang pada dua bidang sekaligus. Sehingga menjadi lebih efisien,” katanya. Tapi dengan adanya kenaikan BBM belakangan ini, Mulyo mengaku, perusahaan sekarang tengah menimbang ulang untuk menerapkan kebijakan baru berupa penyesuaian tarif. Apalagi, lanjut Mulyo, Gamya kini berupaya melakukan peremajaan sekaligus menambah armada. Tapi ia mengaku belum tahu pasti kapan kenaikan itu akan dilakukan. “Mudah-mudahan pasar tidak terlalu kecewa dengan kebijakan ini nantinya,” kata Mulyo. Selama ini Gamya memang masih menerapkan tarif lama sebesar Rp 2000 untuk kilimeter pertama dan Rp 900 untuk selanjutnya. Apabila Gamya ke depannya hendak menerapkan tarif baru, berarti tarif buka pintu menjadi Rp 3000 dan Rp 1300 untuk setiap kilometer yang ditempuh. Keluhan yang sama datang dari perusahaan taksi terbesar di Indonesia, Blue Bird Group. Perusahaan yang memiliki sekitar 6000 armada taksi dari berbagai jenis ini, merasa cukup kewalahan dengan kenaikan BBM setiap bulannya. Dituturkan Arvin Hardian, staf Humas Blue Bird Group yang ditemui di kantor pusat Blue Bird, akibat kenaikan tarif ini, Blue Bird harus mengeluarkan dana tambahan untuk mensubsidi bahan bakar armadanya. Ia lalu membeberkan hitung-hitungan kasar Blue Bird. Misalnya saja, setiap harinya, ia harus mengeluarkan dana Rp 3000 per unit per hari untuk subsidi BBM. Maka setiap harinya Blue harus mengeluarkan biaya tambahan Rp 18 juta, yang berarti Rp 540 juta per bulannya. “Sangat berat bagi kami,” kata Arvin. Sedangkan untuk menaikkan tarif, lanjutnya, perusahaan harus menunggu keputusan Gubernur DKI. Dengan demikian, menurut Arvin, pihak Blue Bird belum dapat memastikan langkah apa yang akan diambil berikutnya. “Masih harus menunggu pertemuan antara manajemen, dan pengemudi,” ujarnya. Pengemudi dinilai perlu dilibatkan dalam memutuskan kebijakan karena dalam peraturan Blue Bird, pengemudi harus menanggung 12 persen biaya bahan bakar taksi per harinya. Sisanya, 88 persen disubsidi perusahaan. Disinggung upaya efisiensi apa saja yang akan dilakukan Blue Bird untuk melakukan penghematan, Arvin menjelaskan, salah satu upaya Blue Bird adalah meminimalisir jumlah ‘kilometer kosong’ taksi. Kilometer kosong adalah jarak yang ditempuh taksi tanpa membawa penumpang dengan memaksimalkan sistem order radio. “Dengan pengaturan yang baik, diharapkan taksi tidak terlalu lama kosong,” ujarnya. Sedangkan masalah suku cadang, diakui Arvin, sampai saat ini memang belum terlalu banyak terpengaruh dengan kenaikan harga BBM. Tapi dia yakin, jika BBM terus naik, lambat laun harga suku cadang akan ikut naik. “Dan ini akan menjadi masalah baru,” katanya. (Ucok Ritonga)