Megawawati Soekarno Putri duduk bersama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kedua kanan), Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat (kanan), Ibu Veronica Tan (kedua kiri) dan Ibu Heppy Farida (kiri) jelang pelantikan Wagub DKI Jakarta di Balai Agung, Balaikota Jakarta, 17 Desember 2014. ANTARA FOTO
TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Nasional Demokrat telah menarik dukungannya terkait hak angket kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Namun Fraksi PDI Perjuangan, yang tahun lalu mendukung pencalonan Ahok sebagai Gubernur Jakarta, belum melakukan langkah yang sama. Partai berlambang banteng moncong putih ini malah turut menjadi salah satu motor penggerak hak angket.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti mengatakan apabila hak angket ini dilancarkan untuk kepentingan menggulingkan Ahok dari posisi gubernur, kemudian Djarot otomatis menggantikannya, maka akan menjadi preseden buruk.
"Ini merupakan contoh politik yang lekat dengan kepentingan. Di mana tidak ada teman yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi," kata Ikrar kepada Tempo, Selasa, 3 Maret 2015.
Jika Ahok jadi dilengserkan kemudian Djarot menggantikan, maka proses ini mengacaukan demokrasi Indonesia. Sebab, Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat tak dipilih melalui pemilihan kepala daerah.
"Ya nanti gubernur dan wakilnya bukan pilihan rakyat. Meskipun ini sah dalam undang-undang, tetapi ini merusak demokrasi," kata dia.
Sebelumnya, Ahok dan DPRD bersitegang lantaran Ahok menduga ada dana siluman dalam rancangan APBD 2015 yang diselundupkan oleh Dewan. Ahok menyebutkan nilai dana siluman tersebut sebesar Rp 12,1 triliun.
Dewan menyikapi tudingan Ahok dengan menggunakan hak angket atau hak untuk melakukan penyelidikan. Dari sembilan fraksi di DPRD DKI Jakarta, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan NasDem telah menarik diri dari hak angket.