Reklamasi Jakarta, Nelayan Diberi Amplop dan Dijanjikan Umrah
Editor
Untung Widyanto koran
Jumat, 16 Oktober 2015 07:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional (KNTI) Muhammad Taher dan nelayan lainnya di Muara Angke, Jakarta Utara, merasa dijebak PT Muara Wisesa Samudra, pengembang yang mereklamasi Teluk Jakarta dan membuat Pulau G (Pluit City).
“Tidak ada warga yang tahu bahwa akan ada reklamasi. Tak ada rembukan dengan warga sekitar,” ucap Taher kepada Tempo seusai pemeriksaan berkas tuntutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, Kamis, 15 Oktober 2015.
Ali Sadikin, seorang nelayan yang juga hadir dalam pemeriksaan tersebut, menambahkan, pihak pengembang juga sempat memberikan amplop dan makanan. Ali menuturkan peristiwa itu terjadi pada 27 September 2015, dua hari setelah pemeriksaan berkas yang pertama di PTUN Jakarta Timur.
“Kami dikumpulkan di Bandar Jakarta. Tanpa undangan resmi, hanya melalui telepon,” ujar Ali. Dalam acara tersebut, hadir 26 nelayan yang juga merupakan ketua RT dan RW di Muara Angke. PT Muara Wisesa adalah anak perusahaan Grup Agung Podomoro, yang selama ini dikenal sebagai Raja Apartemen.
Menurut penuturan Ali, pengembang ingin mengadakan silaturahmi dan menjanjikan para nelayan pergi umrah. Setelah acara makan selesai, setiap nelayan mendapatkan amplop berisi uang sekitar Rp 150-500 ribu.
Setelah menerima uang, Ali dan teman-temannya sesama nelayan disodori kertas untuk ditandatangani. “Bentuknya seperti kertas absen. Belakangan, saya tahu itu semacam surat persetujuan warga untuk reklamasi,” tuturnya. Saat itu, Ali mengungkapkan, sempat terjadi keributan karena para nelayan diminta menjadi saksi untuk developer.
Kasus ini bermula saat reklamasi Teluk Jakarta dilakukan perusahaan pengembang dan mendapat izin dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Setelah berjalan selama tiga tahun, proyek reklamasi Teluk Jakarta membuat nelayan kehilangan mata pencaharian. Beberapa di antaranya terpaksa berubah haluan dan mencari pekerjaan lain, seperti menjual ikan, menjadi sopir angkutan kota, bahkan pemulung.
"Ada sekitar 100-150 nelayan terpaksa beralih profesi menjadi pemulung," kata Muhammad Taher, Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, saat ditemui di PTUN Jakarta Timur, Selasa, 15 September 2015.
Taher mengaku semula ia adalah nelayan tradisional. Sejak proyek reklamasi berjalan, mau tak mau ia berganti profesi menjadi pedagang ikan. Selain menjadi pemulung, kata Taher, nelayan juga beralih profesi menjadi sopir angkot atau pedagang ikan yang mengambil ikan dari daerah lain, seperti Cirebon dan Juwono. "Apa pun yang penting bisa makan, anak bisa sekolah. Yang penting ada penghasilan," ujarnya.
Assistant Vice President Public Relations & General Affairs PT Muara Wisesa Samudra Pramono menyanggah pernyataan Taher dan Ali. Dia menjelaskan, pertemuan saat itu hanyalah sebuah acara silaturahmi antara perusahaan dan nelayan.
"Pertemuan tersebut juga merupakan ajang untuk sosialisasi dan edukasi bagi nelayan," tuturnya melalui pesan elektronik kepada Tempo. Selain itu, Pramono menampik jika perusahaan disebut memberikan uang kepada nelayan. "Kami tak pernah bagi-bagi uang kepada nelayan," ucapnya.
Pramono berkukuh bahwa reklamasi Pulau G akan mendatangkan manfaat bagi nelayan di Muara Angke. Menurut dia, jika reklamasi rampung, perusahaan akan banyak menyerap tenaga kerja.
BAGUS PRASETIYO | GANGSAR PARIKESIT