Penciptaan lapangan pekerjaan, lanjut Master Public Policy dari Carnegie Mellon University (CMU) itu, tidak dapat diselesaikan dengan hanya membuat regulasi terkait investasi saja. Regulasi-regulasi lain yang mendukung atau berkaitan dengannya seperti regulasi perizinan, ketenagakerjaan dan lainnya, juga perlu dituntaskan.
“Itu yang kami sebut sebagai ekosistem ketenagakerjaan dimana semua hal yang mendukung pada pertumbuhan ekonomi nasional harus dibahas dalam satu paket dan tidak dapat dipisahkan,” kata Arif.
Arif menjelaskan bahwa Indonesia memiliki cukup banyak regulasi ketenagakerjaan. Tapi terbukti tidak efisien dan cenderung tumpang tindih. Makin menyulitkan karena adanya inkonsistensi dan tiap regulasi mewakili kepentingan ekonomi masing-masing yang saling tarik menarik.
Hingga hasilnya bukan memudahkan, tapi malah memberatkan. Artinya, regulasi justru cenderung menjadi hambatan paling umum untuk melakukan kegiatan wirausaha secara bebas dan investasi. "Regulasi yang ruwet juga dapat meningkatkan biaya produksi, serta dapat menghambat wirausahawan untuk berhasil di pasar,” ungkap Arif.
Arif melihat Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja merupakan peluang bagi reformasi terhadap berbagai regulasi yang ada. Namun ia mengingatkan bahwa reformasi regulasi harus bersifat komprehensif dan tidak berpihak pada kepentingan salah satu pihak.
Persepsi diametrik antara buruh dan pengusaha misalnya, harus diperjelas. Lebih bijak, kita mengedepankan kepentingan lebih luas dengan cara duduk bersama.
"Kedua belah pihak dipersilakan melakukan penawaran-penawaran terbuka dalam mekanisme negosiasi yang fair. Sehingga lahir sebuah kebijakan yang dapat diterima oleh mayoritas,” kata Arif.