TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia(Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa tindak pidana perdagangan orang atau TPPO adalah kejahatan yang sangat serius dan mengerikan.
Mahfud mengungkapkan bahwa ribuan orang telah menjadi korban perdagangan. Para korban mendapat perlakuan yang sangat keji dan menegerikan.
"Ada orang yang matanya sampai buta, kakinya putus, ada yang menjadi gila, 3 bulan disekap di bawah kapal itu hanya melayani orang makan cuci tidak pernah keluar lihat matahari, yang satu meninggal dilempar ke laut," tutur Mahfud dalam sambutannya di perayaan International Migrant Day di Depok, Rabu, 20 Desember 2023.
Adapun jumlah pekerja migran Indonesia atau PMI di luar negeri per Juni 2023 terdata 9,5 juta jiwa dan setengahnya diduga ilegal. Sehingga, lanjut Mahfud, pemerintah memperbaharui gugus tugas nasional pencegahan tindak pidana perdagangan orang.
"Saya jadi ketuanya. Saudara bayangkan, satu bulan dari tanggal 5 juni sampai 6 juli itu sudah 1950 orang itu diselamatkan, itu baru satu bulan. Kemudian 658 orang itu sindikatnya kita tangkap. Itu baru satu bulan," paparnya.
Ia mengucapkan terima kasih atas kerja sama migrant care dan masyarakat yang peduli dengan kasus perdagangan orang.
"Kita akan bicara dengan sungguh-sungguh dan saya harap institusi-institusi pemerintah terkait itu bekerja sungguh sekarang," katanya.
"Jangan terobang-ambing urusan politik dan pemilu. Ini mumpung orang pada lalai, kita lalai juga gitu tidak boleh. Kita akan terus mengawasi agar instutusi atau lembaga negara tetap tertib," imbuh Mahfud.
Karena kejahatan TPPO ini sangat serius dan menimbulkan dampak ke korban yang sangat mengerikan, Mahfud menyatakan tidak ada upaya restorative justice dalam kejahatan ini.
"Sekarang ini kan kita sedang demam dengan istilah restorative justice. Apa sih Restorative justice di situ adalah satu tindak pidana yang perlu dan baik Kalau diselesaikan di luar pengadilan, ndak usah dibawa ke pengadilan pokoknya antara pelaku dan korban damai, restorative justice itu selesai dalam pengadilan," terang Mahfud.
Konsep RJ yang dibuat pemerintah hanya berlaku untuk tindak pidana kecil, misalnya ketika seseorang difitnah kemudian melapor ke polisi, di situ bisa dilakukan.
"Karena ancaman hukuman bagi Pemfitnah itu hanya setahun. orang mencemarkan nama baik atau melakukan perbuatan tidak menyenangkan itu kan pidana ringan (tipiring) itu disebut restorative justice," jelas Mahfud.
"Lalu orang melanggar lalu lampu lalu lintas, lalu karena lampu merah nyerempet orang di depannya karena dia tidak berhenti, tetapi tidak mengancam jiwa tetapi juga dia merasa dirugikan karena perbuatan itu, itu kan bisa dibawa ke pidana dan di situ bisa restoratif justice didamaikan aja lah itu," lanjut Mahfud.
Sedangkan untuk tindak pidana serius tidak ada RJ, seperti TPPO tidak boleh ada damai, bahkan harus dijebloskan ke penjara pelakunya karena tindak pidana berat.
Ia pun menceritakan pernah marah ketika mendapat telepon dari Malaysia yang menyampaikan ada TPPO, sindikat dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, kemudian yang dari Jawa Tengah dijemput di bandara kemudian diserahkan ke aparat.
"Diselesaikan, tiba-tiba ada berita yang di Jawa Tengah itu sudah didamaikan. korbannya itu mau menerima uang Rp 8 juta 1 orang dan tidak akan menuntut apa-apa. Saya bilang enggak boleh, korban boleh ambil uangnya tapi tindak pidananya enggak hilang," tegasnya lagi.
Kata dia, RJ itu untuk tindak pidana pidana yang kecil dan menjadi budaya hukum Indonesia sejak dulu, seperti masalah kecil diselesaikan kepala adat.
"Itu bagus diteruskan, tetapi kalau kejahatan-kejahatan besar, seperti pencucian uang, perdagangan orang, korupsi pembunuhan berencana, penyelundupan, itu enggak ada restoratif justice-nya, engga boleh ada namanya damai di situ. tetap harus diproses ke pengadilan," kata Mahfud MD.
Pilihan Editor: Ganjar Ungkap Isu yang Dibawa Mahfud di Debat Cawapres: Target Pertumbuhan Ekonomi hingga Industri Kreatif